ANALISIS

Trump dan Triliunan Duit yang 'Kabur' dari Lantai Bursa

Dinda Audriene | CNN Indonesia
Kamis, 01 Des 2016 18:53 WIB
RTI Infokom mencatat dana asing yang keluar di pasar reguler dan negosiasi bursa saham Indonesia pada November 2016 melonjak hingga Rp12,86 triliun.
RTI Infokom mencatat dana asing yang keluar di pasar reguler dan negosiasi bursa saham Indonesia pada November 2016 melonjak hingga Rp12,86 triliun. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Bulan November mungkin merupakan masa anomali bagi pasar modal di tahun ini. Situasi politik Amerika Serikat (AS) dengan kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden berdampak langsung pada bursa saham dunia, dan juga Indonesia.

Tak tanggung-tanggung, dana asing yang keluar (capital outflow) yang keluar dari pasar modal Indonesia sepanjang bulan November ini berkali-kali lipat jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya.

Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), perdagangan pada bulan Oktober tercatat jual bersih (net sell) sebesar Rp2,28 triliun. Sementara, dana asing yang keluar pada November melonjak hingga Rp12,36 triliun.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam sebulan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun 5,05 persen. Jika dihitung sejak Trump memenangi penghitungan suara pada 8 November lalu, maka IHSG telah merosot 5,88 persen.

Ketidakpastian terkait perekonomian di AS setelah kemenangan Donald Trump membuat pelaku pasar keluar dari negara emerging market untuk menghindari resiko. Pasalnya, berbagai kebijakan Donald Trump dari kampanye yang ia lakukan sebelum pilpres membuat pelaku pasar berspekulasi terhadap perekonomian AS itu sendiri.

Trump dan Triliunan Duit yang 'Kabur' dari Lantai BursaDonald Trump. (REUTERS/Andrew Kelly)

Dalam kampanyenya, Donald Trump berbicara mengenai aturan mengenai perpajakan dan menambah belanja untuk infrastruktur. Pelaku pasar merasa nantinya akan ada perubahan sistem perekonomian yang begitu signfikan ketika Donald Trump resmi menggantikan Barack Obama pada Januari tahun depan.

Padahal, apa yang diungkapkannya belum pasti akan terealisasi, karena tentunya Donald Trump tak bisa sendiri dalam memutuskan sesuatu meski dirinya menjabat sebagai Presiden.

“Secara langsung iya kebijakan Donald Trump karena orang merespon kebijakan-kebijakan yang akan diambil oleh Trump meski belum terealisasi tapi orang sudah merespon duluan,” kata analis Binaartha Sekuritas Reza Priyambada, Rabu (30/11).

Aksi jual yang dilakukan pelaku pasar asing terutama terjadi pada saham emiten berkapitalisasi besar khususnya perbankan. Hal ini terjadi karena selain sentimen negatif dari Donald Trump, tetapi rencana kenaikan suku bunga The Fed yang dipastikan oleh beberapa analis benar-benar akan naik pada Desember mendatang juga menjadi alasan penurunan saham perbankan.

Selama bulan November, saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) sempat jatuh hingga Rp10.100 per lembar pada Kamis lalu (24/11) dari puncak 52 pekan sebesar Rp11.950. Saham PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) anjlok pada harga Rp5.000 per lembar pada Selasa (15/11) dan Kamis (24/11) dari puncak 52 minggu di Rp5.975.

Sementara, saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) sempat terperosot ke level Rp10.475 per lembar pada Senin lalu (28/11), dari puncak 52 pekan Rp12.975. Kemudian saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) jatuh hingga Rp14.300 per lembar pada perdagangan terakhir di bulan November dari level puncak 52 pekan Rp16.200.

“Aksi jual lebih banyak ke saham berkapitalisasi besar, saham yang berkapitalisasi besar yang besar di perbankan jadi mereka banyak melakukan aksi jual. Nanti kalau pasar stabil maka cari bank lagi. Kapitalisasinya untuk keseluruhan bank mungkin bisa sekitar 28 persen sampai 30 persen,” jelas Reza.

Trump dan Triliunan Duit yang 'Kabur' dari Lantai BursaIlustrasi rupiah. (CNN Indonesia/Safir Makki)

Keluarnya dana asing ini juga berkaitan dengan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolas AS. Melemahnya nilai tukar rupiah menjadikan pelaku pasar kian khawatir dengan pasar modal Indonesia karena akan berdampak negatif pada emiten yang memiliki utang berdenominasi dolar AS. Artinya, kinerja keuangan emiten tersebut akan terganggu karena rugi kurs yang akan dialaminya.

“Situasi itu membuat pergerakan mata uang dolar AS mengalami kenaikan dan imbas ke nilai tukar rupiah kita jadi terkena, jadi karena nilai tukar rupiah lemah ini respon pelaku pasar jadi negatif. Jadi keluar dari pasar karena kalau nilai tukar rupiah turun daya saing di dalam negeri juga berkurang,” ungkapnya

Asal tahu saja, selama perdagangan bulan November, nilai tukar rupiah sempat anjlok hingga Rp13.863 pada perdagangan beberapa waktu lalu (11/11). Setelah itu, nilai tukar rupiah kembali membaik dan kembali pada kisaran Rp13.300. Sayangnya, beberapa hari ini nilai tukar rupiah kembali anjlok dan berada pada level Rp13.500.

“Ini potensi antisipasi pasar terhadap kenaikan suku bunga oleh The Fed. Kalau lihat sentimen Desember banyak yang menunggu The Fed naikin suku bunga atau nggak maka rupiah akan kena imbasnya. Cuma nanti kalau ada kepastian nah pasar biasanya akan bereaksi biasa lagi,” ungkap Reza.

Sayangnya, nilai tukar rupiah dan sikap pelaku pasar asing yang memutuskan untuk keluar dari pasar modal tak berakhir pada kepastian yang diberikan oleh The Fed, tetapi juga kepastian yang nantinya dikeluarkan oleh Donald Trump. Pelaku pasar hanya bisa menunggu hingga berbagai kepastian itu datang untuk menentukan sikapnya di pasar modal.

"Pokoknya trending topic untuk capital outflow ini ya Donald Trump sama The Fed," tegas Reza.

Sementara, total aksi beli bersih kemungkinan besar tak berarti pelaku pasar asing sepenuhnya keluar dari Indonesia. Disinyalir, mereka hanya berpindah instrumen seperti ke surat utang (obligasi).

"Dana segitu mereka bukan keluar dari Indonesia, itu mereka hanya switching. Kalau mereka benar-benar keluar dari Indonesia mungkin nilai tukar rupiah bisa sampai Rp14 ribu. Ini kan masih Rp13 ribuan," ungkap analis Recapital Securities Kiswoyo Adi Joe.

Menurut Kiswoyo, keluarnya dana asing lebih disebabkan antisipasti kenaikan suku bunga oleh The Fed. Sehingga, setelah The Fed memberikan kepastiannya, ada potensi dana asing kembali dan IHSG tercatat beli bersih.

Sejalan dengan kepastian tersebut, saham perbankan yang mengalami gejolak pada bulan lalu berpeluang bangkit (rebound). Hal ini juga disebabkan saham perbankan yang sudah turun cukup dalam, sehingga secara teknikal harga saham akan kembali naik.

"Saham perbankan pelemahannya udah cukup nanti tinggal penguatan," pungkas Kiswoyo. (gir/gen)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER