Jakarta, CNN Indonesia -- Kondisi perekonomian dunia kembali memberi kejutan. Usai kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat (AS), ekonomi global kini dikejutkan oleh hasil referendum masyarakat Italia yang menolak diadakannya reformasi birokrasi pemerintahan.
Gara-gara penolakan tersebut, Perdana Menteri (PM) Matteo Renzi pun memutuskan untuk mengundurkan diri. Akibatnya, nilai tukar euro terjun bebas terhadap dolar AS. Ini merupakan titik terendah sejak 20 bulan lalu, dimana euro sempat menyentuh US$ 1,0505 yang merupakan nilai terendah pada Maret 2015.
Awalnya, Renzi mengusulkan reformasi pemerintahan menggunakan konsep sentralisasi, dimana kebijakan pemerintah yang baru tidak perlu mendapatkan persetujuan dari senat dan cukup melalui parlemen. Namun, gagasan Renzi itu pun ditolak oleh 60 persen warganya, termasuk organisasi sayap kanan Five Star Movement (5SM).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan pengunduran diri Renzi tersebut, jelas Italia harus menggelar pemilihan umum untuk mencari perdana menteri baru. Tetapi, ada kekhawatiran, pemilu dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh politik sayap kanan yang dipimpin oleh organisasi 5SM untuk merebut kekuasaan sebagai pucuk pimpinan Italia.
"Ini tentunya menambah masalah baru bagi recovery (pemulihan) Eropa. Pemilu ulang ini yang dikhawatirkan oleh para investor, mengingat 5SM itu merupakan organisasi yang mengarah ke gerakan nasionalis seperti yang terjadi di Inggris (Brexit), sehingga yang ditakutkan akan ada kecenderungan Italia untuk keluar dari Uni Eropa," terang Ekonom BCA David Sumual kepada CNNIndonesia, Senin (5/12).
Lebih lanjut ia menuturkan, kecenderungan Italia untuk mengikuti jejak Inggris yang keluar dari Uni Eropa sangat besar. Hal itu dilatarbelakangi oleh kegagalan ekonomi Italia yang terimbas krisis Uni Eropa pada tahun 2010-2014 lalu.
Akibat krisis tersebut Italia harus menjadi negara yang menanggung beban utang cukup besar setelah Yunani. Dengan demikian pemulihan Eropa diperkirakan tidak akan terjadi dalam waktu dekat.
Masalah perekonomian Italia yang belum pulih harus diperparah oleh sentimen politik, dan sosial negara-negara Benua Biru. Gelombang pengungsi dari negara-negara konflik di sekitar Eropa mendorong sejumlah negara Eropa untuk lebih proteksionis terhadap akses internasional.
"Pasar tentunya ingin Italia tetap terbuka, karena ekspor kita dengan Eropa juga besar. Dengan negara yang semakin menutup diri, maka dikhawatirkan pertumbuhan ekonomi global akan semakin jelek. Negara-negara yang selama ini menggantungkan diri dari kegiatan ekspor juga bisa semakin terpukul," katanya.
Tak hanya berdampak ke sektor riil, gejolak politik di Italia diperkirakan juga akan merambah ke sektor finansial. Pelemahan nilai tukar euro terhadap dolar AS pada pagi ini menjadi bukti kuatnya sentimen penolakan referendum terhadap kondisi pasar uang di Eropa.
"Ditambah, tren dolar di pasar global memang sedang menguat jelang keputusan The Fed. Namun, bagi beberapa negara pelemahan nilai tukar masih dinilai baik, karena dapat meningkatkan daya saing produknya," imbuh David.