Jakarta, CNN Indonesia -- Awan hitam diperkirakan membayangi industri perbankan di kawasan Uni Eropa, pasca referendum Italia yang menolak diadakannya reformasi birokrasi pemerintahan diikuti dengan pengunduran diri Perdana Menteri Matteo Renzi.
"Menurut saya, risiko terbesar adalah di sektor perbankan. Jauh lebih berbahaya ketimbang risiko politik," ujar Megan Greene, Kepala Analis Manulife Asset Management, seperti dikutip dari CNBC, Senin (5/12).
Ia meramalkan, krisis perbankan mulanya akan terjadi di wilayah Italia, namun sebagai negara dengan ekonomi ketiga terbesar di Uni Eropa, Italia akan memberikan sentimen negatif kepada negara-negara lain di Uni Eropa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Krisis perbankan di Italia sangat besar potensinya, karena adanya ketidakpastian kebijakan ekonomi yang akan diambil oleh pemerintah. Pasalnya, kursi pengambil kebijakan tengah kosong usai pengunduran diri Renzi.
Imbas lain dari ketidakpastian tersebut, yakni berpotensi memicu kaburnya investor dari Italia. Hal ini tercermin dari penurunan harga surat utang pemerintah Italia.
Tercatat, imbas hasil atau yield dari surat utang pemerintah Italia naik di atas dua persen dalam beberapa pekan terakhir. Angka ini jauh di atas yield surat utang pemerintah Jerman yang hanya 0,3 persen.
Kemudian, sejumlah harga saham bank di Italia juga ikut turun. Bahkan, nilai tukar rupiah atau kurs Euro terhadap dolar Amerika Serikat (AS) turun ke tingkat terendah dalam 20 bulan terakhir.
Selain ketidakpastian kebijakan ekonomi Italia, potensi krisis perbankan kian besar karena Italia tengah mengalami permasalahan utang. Tercatat, jumlah utang Italia mencapai 356 miliar euro atau setara Rp5.430 triliun.
Padahal, negara tersebut tengah membutuhkan setidaknya 20 miliar euro atau Rp300 triliun untuk menambal modal negara guna mengurangi jumlah utang.
Sentimen lain yang juga memperbesar potensi krisis perbankan di Italia, yakni kondisi kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) Italia yang tinggi, yakni sebesar 360 miliar euro atau sekitar US$383 miliar. Angka ini menyedot sepertiga dari total NPL di kawasan Uni Eropa.
Sebagai informasi, beberapa waktu lalu, Renzi menggagas referendum Italia yang berisikan reformasi konstitusi berupa penyederhanaan sistem pemerintahan guna memperbaiki ekonomi Italia.
Dalam referendum tersebut, Renzi menyatakan, akan memangkas jumlah anggota Majelis Tinggi Parlemen dari semula berjumlah 315 anggota menjadi 100 anggota.
Namun begitu, sebanyak 59,5 persen masyarakat Italia justru menolak referendum tersebut, sehingga Renzi harus mengundurkan diri akibat kalah dari referendum tersebut.
Presiden Italia Sergio Mattarella harus buru-buru menunjuk pemerintahan baru hingga pemilihan umum (pemilu) selanjutnya di pertengahan tahun 2018 untuk mengisi kekosongan Renzi, dan segera membuat kebijakan ekonomi sebelum krisis perbankan terjadi di Italia.
(bir)