Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga penyedia jasa konsultasi akuntasi dunia, Price Waterhouse Cooper (PwC) mengingatkan dunia usaha internasional bersiap menghadapi risiko ancaman pengunduran diri Yunani dari Zona Eropa (Uni Eropa). Hal ini dimungkinkan lantaran hingga kini negara-negara Uni Eropa belum menemui kesepakatan menyoal dana talangan untuk Yunani.
"Pengunduran diri Yunani dapat menimbulkan dampak diluar ranah data ekonomi dan statistik keuangan. Kemungkinan besar pengunduran diri tersebut akan meningkatkan ketidapastian politik karena desakan dari negara lain untuk konsesi atas komitmen mereka atau dapat merupakan preseden bagi negara lain untuk meninggalkan Zona Eropa," jelas ekonom PwC, Richard Boxshall melalui keterangan tertulis PwC yang dikutip Minggu (29/3).
Boxshall mengungkapkan, terdapat dua faktor kuat yang memicu keluarnya Yunani dari Uni Eropa. Pertama, krisis kredit yang menyebabkan berlanjutnya arus keluar modal domestik yang mengakibatkan Yunani semakin bergantung pada dana Bantuan Likuidas Darurat atau
Emergency Liquidity Assistance (ELA) yang mahal dan terbatas. Kedua, perihal kembali digunakannya mata uang drachma pasca keluarnya Yunani dari UE.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasalnya, Boxshall bilang dengan kembali diberlakukannya mata uang drachma dalam transaksi keuangan domestik, ekonomi Yunani diprediksi akan mengalami inflasi yang tinggi dengan rata-rata tingkat inflasi di kisaran 6 persen pada 2015. Ini menyusul jebloknya nilai tukar mata uang dracma (depresiasi) pasca kembali diberlakukan pemerintah Yunani sejak keluar dari EU nantinya.
Berangkat dari dua hal tadi, ia pun menyakini pengunduran diri Yunani dapat menimbulkan persoalan mengenai peran Yunani di UE dan NATO, bahkan memicu ketidakpastian yang lebih luas di sisi ekonomi mapun politik kawasan. Ini akan terjadi jika masing-masing pemerintah Zona Eropa gagal menyepakati perpanjangan program dana talangan bagi Yunani.
"Dalam skenario ini, ekonomi Yunani akan menyusut pada tahun 2015 and 2016, terutama disebabkan oleh kontraksi yang tajam dalam investasi bisnis dan konsumsi pribadi, sebelum kembali bertumbuh pada tahun 2017," jelasnya.
Untuk itu, Boxshall berharap negara-negara zona Eropa bisa menemukan kesepakatan pada kuartal ketiga 2015 demi mencegah arus keluar deposito dari bank-bank Yunani ke lembaga keuangan Zona Eropa lainnya. Selain itu, Boxshall pun menyimpulkan pemerintah Yunani harus tetap berfokus pada agenda pertumbuhan ekonomi dengan prioritas utama mengurangi tingkat pengangguran yang saat ini mencapai 26 persen.
"Pertumbuhan kembali tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat Yunani tetapi juga membuka jalan untuk memperoleh solusi untuk menjamin kedudukan Yunani di Zona Eropa,” pungkasnya.
(dim/dim)