Industri Tekstil Nasional Menggeliat Jelang Perdagangan Bebas

Galih Gumelar | CNN Indonesia
Rabu, 28 Des 2016 12:00 WIB
Tahun depan diprediksi menjadi titik balik pertumbuhan bisnis sektor tekstil, setelah mencatatkan pertumbuhan negatif dalam dua tahun terakhir.
Tahun depan diprediksi menjadi titik balik pertumbuhan bisnis sektor tekstil, setelah mencatatkan pertumbuhan negatif dalam dua tahun terakhir. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono).
Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) optimis pertumbuhan industri tekstil tahun depan kembali menggeliat, seiring dengan persiapan pelaksanaan perjanjian perdagangan bebas dengan Uni Eropa yang dimulai pada 2018 mendatang.

API menilai, tahun ayam api akan menjadi titik balik pertumbuhan bisnis sektor tekstil, setelah mencatatkan pertumbuhan negatif dalam dua tahun terakhir ini. Ade Sudradjat, Ketua Umum API meyakini, pertumbuhan industri tekstil berkisar 1,6 persen-1,8 persen hingga akhir 2017 nanti, sesuai perhitungan Kementerian Perindustrian.

"Sebetulnya, tahun depan itu sentimennya masih negatif. Tetapi, karena Indonesia akan bergerak ke arah perjanjian EU Comprehensive Economic Partnership Agreement (EU-CEPA) pada 2018, jadi persiapannya sudah bisa dirasakan tahun depan. Output sudah bisa dirasakan tahun depan," ujarnya, kepada CNNIndonesia.com, Rabu (28/12)

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Optimisme ini terlihat dari kenaikan investasi tekstil dan produk tekstil yang tercermin positif pada tahun ini dan diharapkan sudah bisa mulai beroperasi tahun depan. Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) hingga kuartal III 2016, investasi tekstil tercatat sebesar Rp6,75 triliun. Realisasi ini meningkat 15,38 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu Rp5,85 triliun.

"Ini artinya, memang, banyak investor bersiap-siap untuk memanfaatkan akses pasar tekstil yang semakin terbuka. Karena pelemahan pertumbuhan tahun ini disebabkan oleh minimnya akses perdagangan bebas ke Eropa dan Amerika Serikat (AS). Sehingga, tekstil kita dikenakan bea masuk sebesar 11 persen. Hal tersebut diperparah dengan penurunan permintaan dunia juga kan," terang Ade.

Kendati demikian, industri tekstil tetap meminta bantuan pemerintah untuk menggenjot daya saing industri tekstil. Salah satunya dengan menagih janji pemerintah lewat paket kebijakan ekonomi jilid III, yaitu memotong tagihan listrik sebesar 30 persen sepanjang dini hari. Maklumlah, beban listrik merupakan salah satu komponen biaya terbesar yang perlu ditanggung pengusaha.

Ade merinci, beban listrik di industri hulu tekstil berkisar antara 25 persen hingga 28 persen dari total komponen ongkos produksi. Sementara itu, beban listrik di industri pemintalan dan penenunan masing-masing tercatat 18 persen hingga 25 persen, dan 15 persen-22 persen dari total biaya produksi.

"Tahun ini kan tidak jadi diberlakukan, karena PT PLN (Persero) masih menunggu subsidi agar bisa memberlakukan diskon itu. Jadi, ya semoga tahun depan ini bisa dilaksanakan, karena memengaruhi daya saing industri tekstil juga," imbuhnya.

Sebagai informasi, Kementerian Perindustrian memprediksi pelemahan pertumbuhan industri tekstil sebesar 0,4 persen-0,8 persen hingga akhir tahun ini. Angka tersebut lebih baik ketimbang tahun sebelumnya dengan pelemahan pertumbuhan sebesar enam persen. (bir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER