Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah akhirnya memperpanjang masa pengajuan perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi (OP) menjadi paling cepat lima tahun dari masa tenggat, di mana periode ini lebih lama dibanding ketentuan sebelumnya yaitu dua tahun sebelum IUPK kedaluwarsa.
Hal ini tercantum di dalam pasal 72 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 Atas Perubahan Keempat PP Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menganggap, pengajuan perpanjangan izin selama lima tahun lebih realistis dibanding dua tahun. Menurutnya, akan sangat sulit bagi pemegang IUPK untuk melakukan persiapan jika pengajuan baru ditentukan dua tahun sebelum masa izin berakhir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Untuk pertambangan mineral logam tidak mungkin dua tahun sebelum izin berakhir. Bayangkan saja, negosiasi bisa berjalan enam bulan, mengurus yang lain juga perlu enam bulan," terang Jonan, Kamis (12/1)
"Sisa setahun tidak akan cukup bagi perusahaan tambang untuk melakukan ekspansi. Kalau mineral non-logam, seperti batu bara, mungkin bisa melakukan pengajuan perpanjangan dua tahun sebelum izin habis."
Lebih lanjut ia menerangkan, perpanjangan kontrak ini tidak berlaku bagi Kontrak Karya (KK). Jika perusahaan tambang dengan status KK ingin mendapatkan fasilitas ini, mau tak mau statusnya harus berubah menjadi IUPK.
Kendati demikian, peraturan itu tak memaksa perusahaan dengan status KK untuk berubah menjadi IUPK. Namun jika status tidak diubah menjadi IUPK, maka perusahaan tambang kehilangan beberapa fasilitas, salah satunya adalah ekspor konsentrat dalam jangka lima tahun.
Padahal menurutnya, perubahan status KK menjadi IUPK bisa dilakukan dalam jangka waktu 14 hari kalender jika dokumen persyaratan yang diajukan sangat lengkap. Perusahaan tambang dengan status KK, lanjut Jonan, bisa saja mempertahankan statusnya asal tidak melakukan ekspor dan memenuhi kewajiban pembangunan smelter.
"Jika memang ingin meneruskan operasinya di Indonesia, maka perlu mengubah status menjadi IUPK dan mematuhi segala persyaratan yang berlaku di dalamnya," lanjutnya.
Melengkapi ucapan Jonan, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Bambang Gatot menuturkan, poin-poin renegosiasi kontrak bagi perusahaan tambang dengan status KK akan tetap berjalan meski tidak mengajukan izin sebagai IUPK.
Sehingga, KK masih tetap harus menaati aturan renegosiasi kontrak, yaitu penciutan luas lahan, divestasi, kewajiban pemurnian dalam negeri, penggunaan Tingkat Kandungan Dalam negeri (TKDN), hingga peningkatan royalti kepada negara.
Bambang menyebut, saat ini masih terdapat 34 KK yang belum melakukan amandemen kontrak. Sementara itu, sembilan KK sebelumnya telah melakukan amandemen poin-poin renegosiasi, namun belum sepakat mengubah statusnya ke IUPK.
"Tapi kalau memang perusahaan tambang sepakat mengubah dari KK ke IUPK, maka tidak ada lagi negosiasi. Harus mengikuti ketentuan yang berlaku," pungkas Bambang.