Jakarta, CNN Indonesia -- Keputusan pemerintah membuka lagi keran ekspor mineral mentah pada Januari ini tak sepenuhnya berimbas positif bagi perusahaan pertambangan.
Lihat saja, harga saham PT Vale Indonesia Tbk (INCO) langsung terjun hingga 15,93 persen ke level Rp2.480 per saham pada perdagangan akhir pekan lalu atau satu hari setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) merilis Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Kondisi ini berbanding terbalik dengan harga saham PT Aneka Tambang Tbk (Antam) yang mengalami kenaikan 6,36 persen ke level Rp920 per saham pada akhir pekan lalu. Tak hanya Antam, emiten yang bergerak dalam bidang pertambangan bauksit, PT Cita Mineral Investindo Tbk (CITA) juga tercatat positif 4,65 persen di level Rp900 per saham.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Presiden Direktur Vale Indonesia Nico Kanter menyebut, harga nikel sontak turun merespons kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah ini. Maka, turunnya harga nikel tentu menjadi mimpi buruk bagi Vale Indonesia. Pasanya, emiten ini memiliki ketergantungan atas harga nikel secara global.
“Dibukanya keran ekspor bijih mentah nikel (walaupun terbatas pada nikel berkadar rendah) dapat berdampak negatif terhadap industri nikel yang tengah berkembang di Indonesia,” ungkap Nico, dikutip Senin (16/1).
Penurunan harga nikel ini disebabkan adanya indikasi pasokan nikel global yang akan melimpah setelah izin ekspor ini kembali dibuka setelah ditutup sejak 2014 lalu. Sementara, permintaan terhadap nikel mentah tidak bertambah. Sehingga, terjadi ketimpangan antara penawaran dan permintaan.
“Ekspor tidak hanya terbatas pada jumlah tertentu dan bijih nikel kadar rendah saja. Jika hal ini terjadi, maka dapat dipastikan akan terjadi kelebihan pasokan (over supply) dan pada akhirnya berdampak pada penurunan harga nikel yang signifikan,” papar Nico.
Analis senior Binaartha Securities Reza Priyambada menghitung, kemungkinan besar pendapatan Vale Indonesia bisa turun 15 persen hingga 20 persen tahun ini, seiring dengan penurunan harga nikel dunia karena kelebihan pasokan.
Padahal, Vale Indonesia masih membukukan kinerja yang kurang baik pada kuartal III 2016 lalu. Pendapatan perusahaan turun hingga 51,21 persen menjadi US$405,45 juta dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2015 sebesar US$613,13.
Tak heran, perusahaan menderita rugi bersih pada periode tersebut sebesar US$7,02 juta dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencatat laba bersih sebesar US$51,85 juta.
“Ada potensi untuk lebih rendah daripada kinerja sebelumnya. Pelaku pasar melihat kinerjanya akan cenderung turun. Harga jual nikel akan semakin rendah, jadi margin yang bisa diambil Vale Indonesia tipis,” kata Reza.
Untungkan AntamSetali tiga uang dengan Reza, analis Samuel Sekuritas Sharlita Malik menilai aturan itu akan berdampak negatif pada Vale Indonesia. Pasalnya, emiten tambang mineral lainnya, khususnya nikel, yang belum memiliki
smelter akan diuntungkan karena dapat melakukan ekspor. Sehingga, Vale Indonesia akan memiliki saingan dalam melakukan ekspor.
“Vale Indonesia negatif karena ekspor nikel, jadi kemungkinan dia mungkin dikalahkan sama saingan lainnya. Karena Vale Indonesia kan memiliki
smelter, sedangkan pelaku usaha yang nggak punya
smelter bisa ekspor. Peluang untungnya dikit, tapi Antam positif,” jelas Sharlita.
Dibukanya kembali izin ekspor mineral mentah ini menjadi angin segar bagi Antam yang masih dalam proses membangun
smelter-nya saat ini. Sehingga, ketersediaan nikel yang selama ini hanya ditempatkan di gudang dapat diekspor dan menambah pendapatan untuk kas perusahaan.
“Stok kan numpuk di gudang, nah dengan adanya aturan ini sekarang bisa kami manfaatkan stok itu. Ini bisa meningkatkan pendapatan Antam yang nantinya bermuara dan membantu pendanaan pada proyek hilirisasi kami,” ungkap Sekretaris Perusahaan Antam Trenggono Sulistio.
Namun, manajemen masih menghitung berapa keuntungan yang dapat diraih dari ekspor bijih nikel tersebut. Selain itu, Antam juga masih mengkaji beberapa negara tujuan ekspornya saat ini. Namun sebelum aturan ini dilarang, Antam sempat melakukan ekspor ke Tiongkok, Jepang, dan Eropa.
“Kami masih kaji, masih berhitung. Kan aturan baru keluar Kamis ya. Kami juga kaji negara tujuan nanti untuk memahami betul bentuk pemasarannya,” jelas Trenggono.
Sementara itu, Direktur Cita Mineral Yusak Lumba Pardede mengaku terkejut dengan putusan pemerintah yang kembali membuka keran ekspor mineral mentah. Namun, pihaknya masih mempelajari betul isi dari PP tersebut. Hal ini disebabkan selama ini pihaknya telah melakukan penjualan terhadap asosiasi
smelter yang ada, sehingga dengan dibukanya ekspor maka pendapatan perusahaan dapat lebih baik lagi.
“Kami pasti lebih baik, karena
smelter sudah ada melalui entitas asosiasi dan sisanya bisa ekspor,” ungkap Yusak.
Meski begitu, Yusak dan manajemen perusahaan masih menghitung keuntungan yang akan diraihnya sepanjang tahun ini. Ia juga menuturkan, perusahaan membutuhkan sosialisasi dari pemerintah terkait aturan baru ini.
“Ada baiknya dilakukan sosialisasi oleh pemerintah sehingga ada pemahaman yang sama antara pemerintah dan pengusaha. Kami masih butuh waktu untuk mempelajari ini, tapi kami bahagia dengan adanya aturan ini,” papar Yusak.
Untuk diketahui, harga saham Vale Indonesia yang merosot pada perdagangan akhir pekan lalu terpantau kembali berbalik arah positif pada pukul 11.08 WIB. Harga saham Vale Indonesia melaju ke level Rp2.540 per saham atau naik 60 poin (2,42 persen).
“Penurunan harga saham Vale Indonesia memang hanya
short term, ini semacam berita kejutan saja bagi Vale Indonesia,” pungkas Sharlita.