Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan aturan baru tarif bea keluar konsentrat mineral memaksa PT Freeport Indonesia (FI) merogoh kocek lebih dalam jika tak segera membangun fasilitas pemurnian (smelter).
Sebelumnya, aturan baru tersebut telah dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 13/PMK.010/2017 pengubah PMK 140/PMK.010/2016 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Suahasil Nazara mengungkapkan besaran tarif bea keluar dalam aturan baru murni diperhitungkan dari kemajuan pembangunan smelter, tidak lagi memperhitungkan jaminan kesungguhan pembangunan proyek.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Besaran kemajuan pembangunan smelter itu ditegaskan dalam surat rekomendasi ekspor keluaran Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia.
Dengan ketentuan demikian, kata Suahasil, progres pembangunan smelter Freeport baru mencapai 14 persen.
Jika tetap menggunakan aturan lama, tarif bea keluar Freeport hanya lima persen mengingat progres pembangunan masih berada di rentang 7,5 hingga 30 persen.
"Kemarin itu tarif bea keluar Freeport kan lima persen, karena sudah mengikutkan jaminan kesungguhan," tutur Suahasil saat ditemui di Gedung Djuanda I Kemenkeu, Senin (13/2).
Sementara, dalam PMK 13/2017, tarif bea keluar Freeport menjadi 7,5 persen karena progres pembangunan ada di rentang nol hingga tiga puluh persen.
Dengan skema itu, Suahasil yakin bakal memberikan insentif bagi Freeport untuk mempercepat pembangunan smelter ke depan.
Sebagai informasi, Freeport merupakan salah satu kontributor utama penerimaan bea keluar. Tahun lalu, setoran bea keluar perusahaan pengekspor konsentrat tembaga ini mencapai Rp1,23 triliun atau 41 persen dari realisasi bea keluar Rp3 triliun.