Jakarta, CNN Indonesia -- Industri perbankan membukukan pertumbuhan kredit sebesar 7,88 persen di sepanjang tahun lalu, yaitu dari Rp4.057 triliun pada akhir 2015 menjadi sebesar Rp4.377 triliun. Pencapaian ini tidak jauh berbeda dari yang diramalkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI), yakni sekitar 6 persen - 8 persen, setelah merevisi targetnya jelang pergantian tahun lalu.
Adapun, berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia (SPI) OJK, dana pihak ketiga (DPK) yang dihimpun industri perbankan tembus Rp4.836 triliun atau meningkat 9,58 persen dari posisi tahun sebelumnya yang sebesar Rp4.413 triliun. Sementara, laba bersihnya tumbuh tipis 1,83 persen menjadi hanya Rp861 miliar.
Merinci kinerja perbankan tahun lalu, sebetulnya, rapor merah tersebut lebih didominasi oleh realisasi Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) 1 dan 2. Bank-bank dengan modal inti kurang dari Rp1 triliun dan Rp5 triliun itu mencatatkan kredit dan laba bersih yang kurang menggembirakan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tengoklah, bank BUKU 1, kreditnya melorot hingga 22,29 persen menjadi hanya Rp66,90 triliun pada akhir tahun lalu. Tidak cuma itu, DPK yang dikantonginya juga rontok 28,91 persen dari Rp99,88 triliun menjadi hanya Rp70,99 triliun.
Karena kinerjanya yang tak menggembirakan tersebut, pendapatan bunga bersih dan pendapatan operasionalnya melorot. Akibatnya, laba bersih bank BUKU 1 keok 45,15 persen dari Rp1,57 triliun menjadi hanya 861 miliar.
Sementara itu, bank BUKU 2 masih mampu mencatat kenaikan kredit hingga 6,15 persen menjadi Rp560,60 triliun. Tetapi itu pun tidak lebih baik, mengingat pertumbuhan DPK-nya di bawah kenaikan kredit, yaitu cuma 5,89 persen.
Ironisnya lagi, di tengah tekanan bisnis penyaluran kredit, beban bunga dan operasional yang ditanggungnya naik masing-masing 3,75 persen dan 1,52 persen. Sehingga, laba yang diraupnya pun rontok 10,04 persen.
Anomali dengan bank di kelompok BUKU 2 lainnya, PT Bank Mayapada International Tbk berhasil membukukan kinerja kinclong. Bank Mayapada berhasil mencatat peningkatan kredit di kisaran 20 persen - 23 persen hingga akhir tahun lalu. Tak cuma itu, bahkan profitnya pun mengilap tumbuh 35 persen.
"Kami termasuk bank BUKU 2. Kami tidak tahu persisnya kenapa rata-rata pertumbuhan bank BUKU 2 turun. Namun, secara umum, penurunan pertumbuhan kredit, di samping juga penurunan margin karena
spread yang mengecill. Selain itu, biaya pencadangan yang membesar karena kredit bermasalah," ujar Haryono Tjahjarijadi, Selasa (21/2).
Direktur Utama PT Bank Ina Perdana Tbk Edy Kuntardjo membenarkan, beberapa bank di kelompok BUKU 1 dan 2 mengalami kerugian besar karena volume bisnisnya, khususnya kredit, turun. Ironis, padahal, Loan to Deposit Ratio (LDR) bank-bank tersebut tercatat cukup tinggi.
"Misalnya, bank BUKU 1 yang menderita rugi cukup besar, sehingga berdampak besar pada laba secara keseluruhan sesuai kelompok BUKU-nya. Di samping itu, pangsa pasarnya juga kecil, sehingga secara persentase menjadi tinggi," terang Edy.
Berdasarkan laporan keuangan perseroan, Bank Ina Perdana membukukan penyaluran kredit sebesar Rp1,38 triliun hingga akhir tahun lalu. Jika dibandingkan dengan pencapaian tahun sebelumnya, bank yang masuk kelompok BUKU 1 tersebut mencatat penurunan 4,82 persen dari sebelumnya Rp1,45 triliun. Adapun, labanya masih positif naik 10,24 persen menjadi Rp18,3 miliar.
(bir/gen)