KALEIDOSKOP 2016

Kredit Macet dan Lesu, Biang Kerok Mampetnya 'Cuan' Perbankan

Elisa Valenta Sari & Christine Novita Nababan | CNN Indonesia
Selasa, 27 Des 2016 15:05 WIB
Pertumbuhan laba yang tertekan di sepanjang tahun ini tidak terlepas dari aktivitas penyaluran kredit perbankan yang suam-suam kuku.
Pertumbuhan laba yang tertekan di sepanjang tahun ini tidak terlepas dari aktivitas penyaluran kredit perbankan yang suam-suam kuku. (CNN Indonesia/Safir Makki).
Jakarta, CNN Indonesia --
Tahun monyet api sepertinya bukan tahun keberuntungan bagi industri perbankan. Tengok saja, alih-alih untung, pundi-pundi perbankan malah melompong. Hal ini tercermin dari perolehan labanya.

Pada kuartal pertama tahun ini, misalnya, laba perbankan turun 2,29 persen. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), laba bank turun dari Rp29,63 triliun pada kuartal I 2015 menjadi cuma Rp28,95 triliun pada periode yang sama tahun ini.

Penurunan laba bersih perbankan tersebut tidak terlepas dari kenaikan beban operasional. Di sisi lain, laju pendapatan bunganya tumbuh tipis. PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, satu dari empat bank BUKU 4, tercatat menyumbang kinerja kurang cemerlang.

Laba bank pelat merah nomor wahid ini rontok 23,67 persen menjadi Rp4,19 triliun pada kuartal I 2016. Sementara, tiga bank di kelompok BUKU 4 lainnya masih mampu mencatatkan pertumbuhan, meski tak jauh bergerak ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya.

Kartika Wirjoatmodjo, Direktur Utama Bank Mandiri mengungkapkan, manajemen merencanakan pencadangan hingga sebesar 140 persen sepanjang tahun ini. “Pencadangan akan digunakan untuk mengatasi potensi terjadinya kredit bermasalah,” ujarnya awal Mei lalu.

Kredit Macet dan Lesu, Biang Kerok Mampetnya 'Cuan' PerbankanDireksi PT Bank Mandiri Tbk (Persero). (CNN Indonesia/Elisa Valenta Sari)

Namun, bukannya membaik, perolehan laba Bank Mandiri pada kuartal berikutnya malah melorot semakin dalam dengan penurunan sebesar 28,7 persen atau menjadi Rp7,1 triliun. Perseroan berdalih peningkatan biaya pencadangan (provisi) sebagai biang keladinya.

Memang, kondisi Bank Mandiri tidak melulu mencerminkan laba perbankan secara keseluruhan. Buktinya, data OJK mnyebut, laba bersih perbankan membaik dengan pertumbuhan 7,43 persen. Yaitu, dari Rp50,84 triliun pada separuh pertama tahun lalu menjadi Rp54,62 triliun hingga semester I 2016.

Beruntungnya, perolehan laba perbankan berangsur membaik. Hingga akhir September 2016, laba perbankan tumbuh 9,71 persen menjadi Rp84,81 triliun ketimbang periode yang sama tahun lalu. Menurut Ekonom Sunarsip, peningkatan kredit konsumsi turut menopang pertumbuhan laba kuartal ketiga.

Kredit Single Digit

Sebetulnya, pertumbuhan laba yang tertekan di sepanjang tahun ini tidak terlepas dari aktivitas penyaluran kredit perbankan yang suam-suam kuku. Pada kuartal I 2016, kredit bank cuma naik 8,48 persen.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kredit Macet dan Lesu, Biang Kerok Mampetnya 'Cuan' PerbankanIlustrasi kinerja bank nasional sepanjang 2016. (CNN Indonesia/Astari Kusumawardhani).
Bank Indonesia (BI) sempat merilis survei yang menyebutkan bahwa pertumbuhan kredit baru akan meningkat pada kuartal II. Alasannya sederhana, BI berpendapat, perlambatan kredit kuartal pertama lalu karena belum tingginya kebutuhan pembiayaan korporasi, termasuk karena kebijakan perbankan yang selektif.

Memang, BI sempat optimis. Dalam survei yang dirilis pada 13 April 2016 itu, kredit perbankan sepanjang tahun ini diramal tumbuh 12,3 persen. Namun, belakangan bank sentral merevisi target kredit bank menjadi hanya single digit, yaitu 7 persen-9 persen.

Revisi tersebut juga diamini oleh OJK. Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D. Hadad menuturkan, sebagian Rencana Bisnis Bank (RBB) telah dievaluasi. Hasilnya, kemungkinan besar target kredit dalam RBB tak akan tercapai.

Tadinya, OJK mematok pertumbuhan kredit perbankan bakal tembus 12 persen-14 persen. Memasuki semester kedua, OJK menimbang-nimbang untuk merevisi pertumbuhan tersebut menjadi hanya 10 persen-13 persen. Namun, OJK merevisi kembali pertumbuhan tersebut.

“Setelah mengevaluasi RBB, kami prediksi bahwa pertumbuhan kredit akan bergerak antara 6 persen-8 persen,” terang Muliaman usai rapat triwulanan Komite Stabilitas Sistem Keuangan, akhir Oktober 2016 lalu.

Target baru BI dan OJK tersebut agaknya lebih masuk akal. Lihatlah, per November 2016, kredit perbankan mampu menyentuh 8,5 persen. Realisasi ini lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 7,5 persen (year on year).

Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung menuturkan, pencapaian tersebut membuat bank sentral optimistis target pertumbuhan kredit perbankan sebesar 7 persen-9 persen bakal terwujud pada akhir tahun nanti.

Was-was Kredit Macet

Tren perlambatan pertumbuhan kredit perbankan sebenarnya terjadi sejak 2011 silam. Pada 2011, kredit bank bertumbuh 25,5 persen. Setahun berikutnya, pertumbuhannya cuma 22,97 persen. Lalu, menciut menjadi 21,8 persen pada 2013 dan 11,6 persen pada 2014.

Pertumbuhan kredit kembali kurang darah pada 2015 lalu yang sekitar 10,4 persen, dan puncaknya menjadi 6,4 persen hingga kuartal ketiga tahun ini.

Pertumbuhan kredit bank yang cenderung melambat ini sedikit banyak dipengaruhi oleh perekonomian domestik. Krisis utang di kawasan Eropa pada 2010 dan melambatnya perekonomian China turut memicu perlambatan ekonomi nasional.

Belum lagi, jatuhnya harga minyak sejak pertengahan 2014 lalu yang membuat sebagian besar pelaku bisnis memilih menahan diri untuk melakukan ekspansi.

Ujung-ujungnya, permintaan kredit melambat. Di sisi lain, portofolio kredit pelaku bisnis yang terdampak ekonomi global dan domestik yang lesu terpengaruh. Walhasil, kemampuan bayar pelaku bisnis menjadi tertekan yang berujung naiknya risiko kredit bermasalah.

Hingga kuartal ketiga tahun ini, rasio kredit macet (nonperforming loan atau NPL) perbankan masih dalam tren meningkat. Data BI mencatat, rasio NPL mencapai 3,2 persen (gross) per Agustus 2016. Menurut Juda, peningkatan rasio NPL tak terlepas dari ekonomi yang lesu.

“NPL meningkat juga terjadi ketika ekonomi melemah pada 2008-2009. Lalu, sekarang ini,” imbuhnya dalam konferensi pers, September 2016 lalu.

Namun demikian, ia menilai, rasio NPL tersebut masih dalam batas wajar, mengingat batas atasnya sebesar 5 persen, bahkan bergerak membaik sejalan dengan pergerakan di dalam perekonomian.

Ketika ekonomi menggeliat, permintaan kredit meningkat, dan secara perlahan rasio NPL menurun. "Kalau kredit masih rendah, tentu rasionya begitu. Kalau ekonomi sudah mulai jalan, baru kredit tumbuh,” pungkasnya.

Menatap Penuh Harap

Kendati begitu, upaya perbankan mengerek pencadangan diperkirakan mulai membuahkan hasil pada tahun depan. Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiaatmadja memproyeksi, rasio kredit macet cenderung menurun pada tahun depan.

Kredit Macet dan Lesu, Biang Kerok Mampetnya 'Cuan' PerbankanDirektur Utama PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiaatmadja. (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)

Jika benar demikian, pada akhirnya, risiko kredit macet yang menurun dapat mengurangi beban perseroan dalam mempertebal pencadangan. Ini berarti, laba tahun depan berpotensi membaik ketimbang tahun ini.

Dari sisi kredit, Ekonom BCA David Sumual memprediksi, pertumbuhan  kredit perbankan bisa berkisar 10 persen. Proyeksi pertumbuhan kredit ini memang belum begitu baik.

Hal ini dikarenakan iklim bisnis pada kuartal pertama tahun depan masih penuh tantangan, terutama setelah terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat.

"Pasar sudah bergerak, dan ekspektasi inflasi meningkat, sehingga pertumbuhan konservatif saja,” terangnya.

Untuk mendorong pertumbuhan kredit tahun depan, menurutnya, BI, OJK, dan pemerintah bersama-sama menggenjot permintaan. Bukan semata mendongkrak likuiditas. Toh, likuiditas meningkat sia-sia jika permintaan lesu.
(bir/gen)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER