Bankir Ungkap Alasan Bunga Kredit ke Bisnis Tambang Tinggi

Elisa Valenta Sari | CNN Indonesia
Jumat, 03 Mar 2017 10:15 WIB
Bunga pinjaman perbankan kepada sektor tambang dalam negeri dinilai masih terlalu mahal dan tidak mencerminkan tren penurunan suku bunga yang saat ini terjadi.
Bunga pinjaman perbankan kepada sektor tambang dalam negeri dinilai masih terlalu mahal dan tidak mencerminkan tren penurunan suku bunga yang saat ini terjadi. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Bunga pinjaman perbankan kepada sektor tambang dalam negeri dinilai masih terlalu mahal dan tidak mencerminkan tren penurunan suku bunga yang saat ini terjadi. Kondisi ini yang sempat dikeluhkan oleh Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar Rabu (1/3) lalu.

Saat itu Arcandra menyindir suku bunga pinjaman perbankan di Indonesia secara rata-rata saat ini masih diatas 10 persen. Dengan kondisi ini, Indonesia dinilai tak akan pernah bisa mengelola tambang tanpa melalui dana asing sampai kapan pun.

Namun kondisi tersebut ternyata bukan tanpa alasan. Harga batu bara yang terus merosot sejak beberapa tahun terakhir membuat bisnis batu bara ikut lesu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Margin yang kian tipis membuat angka kredit macet dan angka kebangkrutan perusahaan tambang, khususnya batu bara semakin tinggi. Hal ini membuat perbankan berpikir ulang untuk menyalurkan pinjaman. Sektor pertambangan bukan lagi prioritas perbankan.

Terakhir tercatat, besaran kredit macet (NPL) sektor pertambangan juga sudah melewati batas aman yang dipatok OJK maksimum di level 5 persen. Nilai kredit macet di sektor pertambangan tercatat Rp9,40 triliun dari total kucuran kredit sebesar Rp 127,51 triliun.

Oleh karena itu, jika pun harus meminjam ke bank, maka tak heran beban bunga yang dikenakan kepada para debitur akan membengkak dan mahal.

Direktur Corporate Banking Bank Mandiri Royke Tumilar mengatakan, dalam kebijakan internalnya, Mandiri menggunakan prinsip risk based pricing atau pemberian kredit berdasarkan risiko yang dimiliki oleh para debitur.

Menurutnya, tidak semua perusahaan tambang memiliko risiko yang sama. Hal ini pula yang mendasari pemberian bunga kepada perusahaan tambang satu dengan lainnya tidak akan dipukul rata.

Saat ini berdasarkan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK), Mandiri mematok bunga pinjaman korporasi sebesar 9,95 persen.

"Tergantung, kalau mereka bisa manage volatility dari price risk tentunya risikonya lebih rendah," ujar Royke kepada CNNIndonesia.com, Jumat (3/3).

Adapun menurut Royke, perusahaan berpeluang mendapat pricing bunga murah apabila mampu mengelola volatilitas harga komoditas dengan baik. Serta mampu mengelola dampak lingkungan sesuai dengan AMDAL nya.

Volatilitas harga komoditas memang tak hanya menjadi dasar pertimbangan Mandiri dalam menentukan bunga pinjaman. PT Bank Negara Indonesia Tbk (Persero) juga menjadikan kemampuan pengelolaan volatilitas harga komoditas sebagai tolak ukur kemampuan perusahaan tambang dalam mengelola risiko dan efisiensi dalam mengelola beban biaya dana.

Biaya dana adalah biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk mendapat pendanaan. Semakin besar bunga pinjaman, maka semakin besar biaya dana yang harus dibayarkan.

Selain itu, BNI juga memperhatikan faktor lain seperti cadangan hasil tambang, kualitas tambang itu sendiri dan produksi yang efisien. Selain semakin buruknya bisnis perusahaan tambang, kebijakan green banking juga dianggap sebagai penyebab minimnya pinjaman bank di sektor itu.

"Saya kira bunga bukan salah satu tapi juga variabel-variabel lain perlu diperhitungkan, misalnya efisiensi dalam produksi dan lainnya," ujar Direktur Korporasi BNI Herry Sidharta. (gir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER