Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Indonesia (BI) mewaspadai potensi kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat (
Fed Fund Rate/FFR) pada Rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) yang akan digelar pada 14-15 Maret 2017 mendatang.
"Kami mengikuti perkembangan terakhir dari pidato Janet Yellen, Gubernur Bank Sentral AS, dan semua pejabat terkait. Minggu depan, saat FOMC
meeting, kans-nya di atas 90 persen untuk FFR itu dinaikkan," tutur Gubernur B.I. Agus DW Martowardojo saat ditemui di Gedung Djuanda I Kementerian Keuangan, Senin (6/3).
Menurut dia, pelaku pasar sudah memperhitungkan (
price-in) kenaikan FFR bulan ini. Kajian dan komunikasi kepada pelaku pasar juga sudah dilakukan dengan baik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tahun ini, BI memperkirakan, kenaikan FFR akan terjadi dua sampai tiga kali. Potensi kenaikan itu didukung oleh tingkat pengangguran AS yang semakin mengecil dalam beberapa waktu terakhir.
Khusus untuk Indonesia, Agus meyakini, dampak kenaikan FFR tidak akan besar karena ditopang oleh stabilitas sistem keuangan dan kinerja makro ekonomi.
"Kami melihat bahwa kondisi ekonomi dalam keadaan baik. Itu ditandai dari angka pertumbuhan ekonomi, inflasi, neraca pembayaran, dan transaksi berjalan yang terjaga. Sehingga, risiko pembalikan modal ataupun tekanan yang tidak kami kehendaki tak terjadi," terang Agus.
Sebagai otoritas moneter, BI akan terus berada dan memantau pasar untuk menjaga kestabilan volatilitas nilai tukar rupiah.
"BI akan terus menjaga agar nilai tukar rupiah itu mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia. BI tidak akan ragu untuk berada di pasar untuk menjaga stabilitas," tegas dia.
Sebagai informasi, FOMC menaikkan FFR terakhir kali pada Desember 2016 sebesar 25 basis poin (bps). Pada rapat yang digelar awal Februari lalu, FOMC memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan tetap di kisaran 0,5 - 0,75 persen.
(bir/gen)