Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) meminta lembaga riset energi internasional, Wood Mackenzie untuk memperbaiki hasil penelitiannya yang mengatakan bahwa skema kontrak bagi hasil produksi (
Production Sharing Contract/PSC)
Gross Split justru membuat seret investasi hulu migas.
Menteri ESDM Ignasius Jonan mengatakan, instansinya telah mendengarkan paparan langsung dari Wood Mackenzie beberapa waktu lalu. Menurutnya, ada beberapa variabel penelitian yang belum dimasukkan di dalamnya sehingga hasilnya terlihat rancu.
"Kemarin ada studi dari Wood Mackenzie bahwa
Gross Split tak akan membuat Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tertarik berinvestasi. Sudah ada diskusi antara Wakil Menteri dan Wood Mackenzie bahwa mereka sepakat untuk merevisi hasil penelitian tersebut," kata Jonan, akhir pekan lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut ia menuturkan, Wood Mackenzie belum begitu memahami bahwa
Gross Split bertujuan untuk mengamankan penerimaan negara.
Menurutnya, metode PSC
cost recovery yang digunakan sebelumnya memang berhasil diterapkan di beberapa negara. Namun, khusus di Indonesia, hal ini menjadi beban setelah
cost recovery lebih besar dibanding Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) migas.
Di tahun 2016, angka PNBP migas sebesar Rp44,9 triliun jauh lebih rendah dibanding
cost recovery sebesar Rp152,7 triliun.
"Yang lebih penting adalah, dari sisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), state budget melenceng yang melenceng ini perlu dijaga. Model
cost recovery banyak di dunia, seperti Malaysia. Namun, kami ini hampir loss, hampir telanjang," ujarnya.
Sementara itu, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menjelaskan beberapa variabel yang sedianya perlu dimasukkan lembaga internasional tersebut. Salah satunya adalah percepatan waktu dari awal hingga konstruksi proyek migas akibat pengadaan barang dan jasa disediakan secara mandiri oleh KKKS.
Ia mengatakan, PSC
Gross Split bisa memangkas waktu administrasi
Pre Front End Engineering Design (FEED) yang saat ini makan waktu delapan bulan dan antara FEED dengan kontruksi (
Engineering, Procurement, and Construction/EPC) yang bisa berlangsung 1,5 tahun. Jika percepatan bisa dilakukan, tentu KKKS bisa menghemat investasinya.
"Wood Mackenzie hanya memasukkan unsur
split saja. Tapi, di
Gross Split ini ada efisiensi waktu administrasi dua hingga tiga tahun. Lagipula, kalau administrasi lebih singkat, waktu produksi juga lebih cepat. Ini perlu diperhitungkan, efisiensi tersebut
equal berapa uangnya?" jelas Arcandra.
Lebih lanjut ia menuturkan, pemerintah akan menerima hasil riset Wood Mackenzie jika pemahaman dan datanya akurat. Namun, riset seperti ini dianggapnya memperburuk citra invetasi migas di Indonesia.
"
Image ke negara kita adalah, apa benar investasi hulu migas Indonesia tidak menarik? Kami meminta mereka artikan
Gross Split ini dengan betul dan dilengkapi data yang benar," pungkasnya.
Sebelumnya, hasil riset Wood Mackenzie mengatakan, pemberlakuan PSC
Gross Split dianggap tidak mumpuni untuk menarik investasi hulu migas ke Indonesia. Pasalnya, angka keekonomian proyek hulu migas menggunakan PSC
Gross Split berbeda jauh dibandingkan
Cost Recovery, utamanya di proyek laut dalam.
Lebih lanjut, Wood Mackenzie mengatakan,
Gross Split hanya bisa berhasil jika KKKS menekan biaya operasionalnya serendah mungkin.
Mengacu hasil riset institusi, biaya operasional di lapangan gas perlu ditekan sebesar 75 persen agar keekonomiannya bisa sesuai dengan rezim sebelumnya. Sementara itu, KKKS setidaknya harus mengurangi biaya operasional sebesar 10 persen agar keekonomiannya sama seperti skema
Cost Recovery.
"Analisis kami menemukan bahwa sistem
Gross Split memiliki dampak buruk terhadap keekonomian proyek hulu migas. Dibutuhkan pemangkasan produksi yang ketat agar tingkat pengembaliannya sama seperti rezim sebelumnya. Ini akan menghambat investasi utamanya bagi pengembangan lapangan migas yang membutuhkan biaya besar," ujar Senior Research Manager Wood Mackenzie Ashima Taneja kepada CNNIndonesia.com, Kamis (9/3).