Jakarta, CNN Indonesia -- Harga minyak turun sebesar 1 persen pada perdagangan Senin (25/4), seiring ketidakjelasan organisasi negara-negara pengekspor minyak
(Organization of the Petroleum Exporting Countries/OPEC) dalam memperpanjang pemangkasan produksinya. Disisi lain, Rusia bersiap untuk meningkatkan produksi jika kesepakatan tersebut tidak jadi berjalan.
Dikutip dari
Reuters, produksi minyak Rusia diperkirakan bisa mencapai titik tertingginya selama 30 tahun terakhir jika OPEC tidak mau memperpanjang pembatasan produksinya di semester II mendatang.
Namun, riset Citi menyebut, kebijakan pembatasan produksi kemungkinan besar akan terus diterapkan. Menurut laporan tersebut, penurunan harga minyak beberapa waktu belakangan ini justru disebabkan oleh faktor spekulasi yang dipengaruhi sentimen OPEC atau produksi minyak AS.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada pekan lalu, harga minyak melemah 7 persen sebagai tanda bahwa produksi minyak non-konvensional AS menutup dampak yang dihasilkan dari kebijakan pemangkasan produksi OPEC. Sebagai informasi, OPEC dan beberapa produsen minyak lainnya memangkas produksi 1,8 juta barel per hari sepanjang paruh pertama 2017.
Hasilnya, harga Brent berjangka LCOc1 ditutup melemah US$0,36 per barel ke angka US$51,6 per barel. Sementara itu, harga West Texas Intermediate (WTI) berjangka CLc1 menurun US$0,39 per barel ke angka US$49,23 per barel.
Selama ini harga minyak tertekan oleh meningkatnya aktivitas pengeboran yang berimplikasi pada pertumbuhan produksi. Pada pekan lalu, terdapat tambahan pengeboran selama 14 pekan berturut-turut, sehingga jumlah pengeboran minyak di AS menjadi 688 pengeboran.
Hal ini diperkirakan bisa menyokong produksi minyak non-konvensional AS ke titik tertinggi selama dua tahun terakhir pada bulan Mei mendatang. Saat ini, produksi minyak AS mencapai 9,3 juta barel, atau lebih tinggi 10 persen dibanding pertengahan tahun 2016.