Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya empat pelanggaran yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia di bidang lingkungan yang berpotensi merugikan negara secara finansial. Hal ini ditemukan dari hasil pemeriksaan tujuan tertentu atas penerapan Kontrak Karya Freeport pada tahun anggaran 2013 hingga 2015.
Yang pertama, Freeport dituding menggunakan kawasan hutan lindung dalam kegiatan operasionalnya dengan luasan mencapai 4.535,9 hektare (ha). Menurut BPK, hal ini bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 dan UU Nomor 19 Tahun 2004.
Sementara itu, lahan hutan lindung sudah menjadi objek Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2008. Dengan menghitung periode pemberlakukan PNBP selama tujuh tahun hingga 2015, maka terdapat potensi kehilangan PNBP senilai Rp270,83 miliar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, BPK juga menemukan adanya kelebihan pencairan dana jaminan reklamasi sebesar US$1,43 juta, atau setara Rp19,43 miliar. Dalam hal ini, BPK menemukan adanya perhitungan yang tidak akurat antara Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM dengan kenyataan yang terdapat di lapangan.
Pasalnya, analisis Sistem Informasi Geografis menemukan bahwa pelaksanaan reklamasi dilakukan di blok-blok yang tumpang tindih antara satu dengan lainnya. Akibatnya, pemerintah mencairkan kelebihan jaminan dana reklamasi milik Freeport.
Selanjutnya, Freeport dianggap BPK belum menyerahkan kewajiban penetapan pasca tambang untuk periode 2016 sebesar US$22,28 juta. Angka ini tercatat 6,29 persen dari kewajiban dana pasca tambang yang harus dibayar perusahaan dari tahun 2016 hingga 2019 sebesar US$353,75 juta.
Menurut BPK, kewajiban ini perlu dilakukan karena dana pasca tambang sudah diatur di dalam pasal 26 Kontrak Karya antara pemerintah dan perusahaan. Selain itu, kewajiban tersebut juga tercantum di dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2014.
Yang terakhir, dan dianggap mengandung potensi kerugian paling besar, adalah pembuangan limbah operasional penambangan di sungai, hutan, estuaria, dan bahkan mencapai kawasan laut. Menurut BPK, kondisi ini telah menyebabkan potensi kerugian sebesar Rp185,01triliun atau setara dengan seluruh nilai ekosistem yang dikorbankan.
Kendati demikian, perusahaan, Pemerintah Provinsi Papua, dan Pemerintah Kabupaten Mimika telah menandatangani partisipasi pembangunan berkelanjutan untuk sistem pengelolaan tailing sebagai bentuk kompensasi yang ditimbulkan Freeport pada 17 April 2012 silam. Tercatat, Freeport sudah membayar dana tersebut Rp155,81 miliar kepada Kabupaten Mimika dan Rp187,31 miliar ke Provinsi Papua dalam kurun waktu 2011 hingga 2015.
Dengan demikian, BPK menghitung bahwa total potensi kerugian yang diakibatkan dari operasional Freeport berada di kisaran Rp185 triliun hingga Rp186 triliun. Selain kerugian berdampak finansial, BPK juga menemukan satu pelanggaran lain, yaitu kegiatan pertambangan
Deep Mill Level Zone (DMLZ) dan perpanjangan tanggul barat dan timur tanpa izin lingkungan .
Sayangnya, hingga saat ini, Juru Bicara Freeport Riza Pratama belum menanggapi pesan singkat CNN Indonesia terkait laporan yang dikeluarkan BPK tersebut.