Jakarta, CNN Indonesia -- PT Pertamina (Persero) berencana untuk memundurkan jadwal perampungan dua proyek kilang yang dikerjasamakan dengan mitra luar negeri. Hal tersebut dilakukan guna mengantisipasi penumpukan beban utang yang dapat terjadi jika kedua proyek tersebut rampung sesuai jadwal.
Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik mengatakan, dua proyek yang targetnya digeser adalah proyek perbaikan kapasitas dan kompleksitas kilang eksisting
(Refinery Development Master Plan/RDMP) Cilacap yang dikerjasamakan dengan Saudi Aramco dan pembangunan kilang baru di Tuban bekerjasama dengan OJSC Rosneft. Rencananya, jadwal RDMP Cilacap akan mundur dari tahun 2021 ke 2023, sementara kilang Tuban akan mundur dari 2022 ke tahun 2024.
Mundurnya jadwal tersebut disebabkan kekawatiran adanya peningkatan liabilitas atau utang ketika kedua proyek tersebut rampung. Pasalnya, Pertamina berkewajiban untuk menyerap
(offtake) seluruh produk yang dihasilkan kedua kilang tersebut sesuai kesepakatan Joint Venture dengan Saudi Aramco dan Rosneft. Adapun sesuai standar akuntansi International Financial Reporting Standards (IFRS) yang berlaku mulai akhir 2016, kewajiban
offtake dimasukkan ke dalam komponen liabilitas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal tersebut dirasa memberatkan secara pembukuan, apalagi total investasi kedua proyek itu menelan dana hingga US$20,8 miliar. Maka dari itu, seluruh jadwal proyek kilang yang dikerjasamakan secara kemitraan sengaja dimundurkan perlahan agar liabilitas dalam bentuk
offtake tak menumpuk di periode yang sama. Sehingga, secara pembukuan, keuangan Pertamina masih dianggap sehat.
"Kalau kami mengakui
liability dalam bentuk
off take agreement, kemudian nanti ibaratnya utang bertambah kan? Makanya kami coba reschedule beberapa proyek kilang ke belakang, tapi kami harap semuanya bisa dirampungkan di tahun 2025," ujar Elia ditemui di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Selasa (6/6).
Oleh karenanya, dalam waktu dekat, Pertamina akan bertemu Saudi Aramco dan Rosneft untuk membicarakan soal pergeseran jadwal tersebut. Saat ini, besaran tambahan liabilitas akibat kebijakan
offtake sedang dihitung oleh panitia pengawas
(steering committee) yang dibentuk perseroan.
Menurutnya, kewajiban Pertamina untuk menjadi
offtaker produk kilang sebenarnya bukan paksaan dari pemerintah. Namun, status
offtaker sangat penting, karena investor tak mau menjadi mitra kilang Pertamina kalau tidak ada kejelasan ihwal penyerap produk.
"Maka dari itu,
offtake dimasukkan di dalam kesepakatan
joint venture pada saat itu. Oleh karenanya, kami juga akan bicara dengan mitra kami. Sebenarnya lebih lega bicara seperti ini karena kami jadi tak mendorong mereka untuk buru-buru menyelesaikan kilang," ungkap Elia.
Direktur Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia Pertamina Rachmad Hardadi menambahkan, perusahaan akan segera menemui Rosneft pada pekan ini untuk bicara soal kewajiban
offtake. Sementara itu, perusahaan sudah mengirimkan surat untuk bertemu dengan Saudi Aramco, yang sayangnya belum direspon oleh perusahaan asal Arab Saudi.
Di dalam pertemuan tersebut, Pertamina akan meminta penyesuian kewajiban
offtake dari 100 persen menjadi sesuai porsi kepemilikan perseroan di masing-masing proyek kilang. Ini diharapkan bisa mengurangi penambahan komponen utang di dalam pembukuan Pertamina. Sekadar informasi, saat ini Pertamina menggenggam kepemilikan 55 persen baik di proyek Cilacap maupun kilang Tuban.
"Ini dilakukan agar beban
finance-nya diatur sedemikian rupa. Karena proyek Pertamina tak hanya megaproyek saja, namun ada akuisisi hulu, hingga proyek infrastruktur pemasaran," pungkas Rachmad.
Proyek RDMP Cilacap rencananya bisa menambah kapasitas produksi dari 350 ribu barel per hari ke angka 400 ribu barel per hari. Sementara itu, proyek kilang baru di Tuban diharapkan memiliki kapasitas sebesar 300 ribu barel per hari.
Kedua proyek tersebut merupakan bagian dari megaproyek kilang Pertamina yang diharapkan bisa memiliki kapasitas sebesar 2,3 juta barel per hari pada tahun 2025 mendatang. Saat ini, kapasitas kilang
existing Pertamina tercatat 1,04 juta barel.