Jakarta, CNN Indonesia -- Penggemar sepatu di Indonesia baru-baru ini dikejutkan oleh kabar berhentinya penjualan produk sepatu bermerk Vans akibat sang distributor resmi, yakni PT Gagan Indonesia dinyatakan bangkrut atau pailit. Permohonan pailit Gagan Indonesia sebelumnya telah dikabulkan oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat setelah gagal berdamai dengan para krediturnya dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran utang (PKPU).
Berdasarkan permohonan pailit yang diajukan RSH Holdings, Gagan Indonesia diketahui telah memiliki utang lebih dari satu kreditur. Selain sebagai distributor resmi sepatu Vans, Gagan Indonesia juga merupakan distributor brand Adidas, Bebe, Ted Baker, Quiksilver, Promod, dan Vans di Indonesia.
Namun ironisnya, di tengah kabar penutupan sejumlah toko fisik Vans di Indonesia, penjualan sepatu asal Amerika Serikat itu saat ini masih marak di media sosial. Produk palsu atau 'KW' tersebut dibanderol dengan harga yang jauh lebih murah jika dibandingkan dengan produk asli yang dijual di gerai Vans resmi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta menuturkan, keberadaan barang palsu saat ini sudah menjadi rahasia umum di Indonesia. Keberadaannya pun tentunya menjadi ancaman bagi penjual produk bermerk asli. Bagaimana tidak, harga yang ditawarkan untuk produk palsu jauh lebih murah jika dibandingkan dengan produk asli.
Indonesia, dengan jumlah penduduk mencapai 250 juta adalah pasar yang menggiurkan untuk bisnis apapun, termasuk bisnis barang palsu. Berdasarkan studi Masyarakat Indonesia Anti-Pemalsuan (MIAP) dan UI, kerugian karena perdagangan barang palsu di Indonesia diperkirakan mencapai Rp65,1 triliun pada 2014.
Adapun nilai kerugian yang dialami seluruh dunia akibat barang palsu lebih fantastis lagi. Berdasarkan laporan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), total impor barang palsu pada 2013 mencapai US$461 atau sekitar Rp6 ribu triliun. Jumlah tersebut, menyumbang 2,5 persen dari jumlah impor global.
Dari total tersebut, sebanyak 63,2 persen barang palsu berasal dari China. Kemudian disusul oleh Hong Kong, dengan volume sebesar 21,3 persen.
Di dalam negeri, industri ritel fesyen sempat diramaikan oleh penangkapan dua orang distributor sepatu palsu bermerk Nike oleh Polres Metro Jakarta Selatan pada 2015 lalu. Dari tangan dua distributor tersebut polisi menyita sebanyak 2.182 pasang sepatu palsu.
Pada tahun yang sama, Tim penyidik dari Subdirektorat Industri Perdagangan Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Mabes Polri juga berhasil menyita ratusan produk tas palsu bermerek Chanel. Penyitaan itu dilakuan pada dua pertokoan di Jakarta, ITC Mangga Dua dan Pusat Grosir Senen. Kendati demikian, hingga kini, kita masih bisa dengan mudah menemukan barang-barang palsu pada pertokoan di wilayah tersebut.
Tutum menjelaskan, suburnya bisnis barang palsu tidak lepas dari kemampuan atau daya beli masyarakat Indonesia serta rendahnya kesadaran masyarakat atas hukum hak cipta. "Barang branded itu nilai tambahnya sangat besar. Mereka berani buka toko besar-besaran di sini, tapi harus diperhatikan juga kemampuan ekonomi di negara setempat," ujar Tutum saat dihubungi CNNIndonesia.com, pekan ini.
Menurut Tutum, di samping persaingan 'anomali' dengan barang tiruan, Vans juga harus menghadapi persaingan bisnis yang ketat dengan produk sepatu impor terkenal lainnya seperti Nike. Brand tersebut juga harus menghadapi kasus pembajakan serupa, tetapi nafasnya lebih banjang karena basis konsumen yang lebih besar dan bervariasi.
"Kita tahu, produk Vans itu lebih sepatu klasik, dan hanya orang-orang tertentu saja yang pakai, berbeda dengan Nike dan Adidas yang memiliki range produk lebih luas, buat orang tua ada buat orang muda pun ada," ujarnya.
Pandangan berbeda disampaikan Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat. Ia melihat, penutupan toko Vans di Indonesia merupakan salah satu hasil dari ketidaknormalan baru dalam sistem pemasaran produk tekstil yakni digitalisasi.
"Ini ada beberapa aspek perubahan yang dikenal
disruption cara dagang yang perlahan-lahan mulai berubah menjadi
online, dengan
online mata rantai distribusi itu ada yang dipotong sehingga tidak ada lagi yang namanya
distribution cost atau investasi secara fisik," ujar Ade saat dihubungi.
Ade mengatakan, di era dagang berbasis digital saat ini, pertumbuhan
e-commerce tidak bisa dimungkiri akan menjadi ancaman bagi pedagang. Pasalnya, tidak sedikit konsumen yang beralih dengan berbelanja
online ini, lantaran dinilai lebih efesien.
Untuk itu, menurut dia, pedagang di pasar tradisional maupun pedagang di pusat perbelanjaan modern harus melakukan penyesuaian dengan mengembangkan pemasaran selain menggunakan cara konvensional, yakni secara
online. Jika tidak dilakukan, pedagang tersebut lambat laun akan ditinggalkan konsumen.