TOP TALKS

Ada Budaya Korea dalam Strategi Komut Baru BEI

Dinda Audriene Muthmainah | CNN Indonesia
Senin, 03 Jul 2017 11:45 WIB
Empat tahun menjabat Duta Besar Korea Selatan, Komisaris Utama BEI John Aristianto ingin membawa budaya Korea yang cepat dan disiplin ke pasar modal Indonesia.
John Aristianto Prasetio ditetapkan sebagai Komisaris Utama Bursa Efek Indonesia menggantikan Robinson Simbolon melalui Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) yang digelar pada 21 Juni 2017. (CNN Indonesia/Dinda Audriene Muthmainah)
Jakarta, CNN Indonesia -- Bursa Efek Indonesia (BEI) telah menetapkan John Aristianto Prasetio sebagai Komisaris Utama menggantikan Robinson Simbolon melalui Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) yang digelar pada 21 Juni 2017.

Pria kelahiran Semarang tahun 1950 itu baru saja kembali ke Indonesia pada awal tahun ini usai menuntaskan pekerjaannya sebagai Duta Besar (Dubes) Korea Selatan selama empat tahun. Kini, John mendapat tugas baru untuk membawa BEI lebih maju dari posisinya saat ini.

Bidang pasar modal sendiri sudah mulai digeluti John di awal kariernya, sejak menjabat sebagai asisten dosen di Universitas Indonesia. John juga pernah masuk dalam jajaran dewan komisaris untuk beberapa perusahaan nasional, seperti PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) dan PT Global Mediacom Tbk (BMTR). Alhasil, pergerakan saham dalam negeri dan emiten di Indonesia tentu bukan hal baru bagi John.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Menetap selama empat tahun di Korea Selatan, John mengaku ingin membawa budaya negeri gingseng tersebut yang disebut dengan pali-pali atau cepat-cepat dan disiplin. Namun, berbeda dengan jajaran direksi, sebagai komisaris utama, John tidak akan menyentuh langsung operasional atau kebijakan Bursa, melainkan mengawasi dan memberikan saran untuk direksi. Bagaimana John akan membawa perubahan pada Bursa Efek Indonesia, berikut wawancara CNNIndonesia.com dengan John belum lama ini.

Bagaimana penunjukan Anda sebagai Komisaris Utama BEI?

Saya sendiri kaget. Ini suatu tugas yang menurut saya tidak mudah, tidak senang-senang. Saya ketahui hal itu, suatu tugas mulia juga kalau saya memberikan sumbangan untuk pasar modal kita agar governance (tata kelola) nya lebih bagus. Dulu saya mulai karir pada waktu muda sebagai asisten dosen terus diminta bantu pengembangan pasar modal, sekarang boleh dibilang saya di usia senja, menjelang akhir-akhir karir saya, saya mendapatkan kesempatan sekali lagi. Saya pikir ya saya pergunakan kesempatan itu.

Sebetulnya kan begini ya, terus terang saja karena saya di Korea Selatan jadi saya dengan petinggi-petinggi di Indonesia itu tidak begitu kenal lagi. Kalau di Kementerian Luar Negeri ya kenal, jadi saya termasuk heran juga, karena di Indonesia kan katanya who you know is more important than what you know. Lah, saya kok tau-tau dipilih jangan-jangan nih saya punya koneksi, nggak loh saya nggak begitu kenal (dengan petinggi).

Saya punya respect sama mereka, saya tahu foto-foto mereka, yang di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) misalnya. Tapi kan saya sebetulnya belum pernah ketemu berdua Ibu Nurhaida sebelumnya. Jadi, ini sebenarnya suatu tugas yang benar-benar profesional.

Lalu. memang terlintas pada waktu itu di pikiran saya, aduh apa ini nanti tidak terlalu repot gitu ya. Apa nggak waktunya saya ongkang-ongkang kaki, main golf gitu. Saya dapat tugas ini, saya mencoba untuk try to do my best. Direksi mempunyai banyak aspirasi, mempunyai banyak cita-cita, ambisi yang besar. Ya mungkin saya sebagai yang sudah cukup senior bisa membantu memberikan wisdom supaya semua ambisi yang positif itu bisa terlaksana gitu.

Empat tahun menjabat sebagai Dubes Korea Selatan, apakah Anda masih memantau pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan perkembangan pasar modal Indonesia?

Sebetulnya kan kalau di era teknologi itu informasi bisa diterima secara instan. What’s going on di Amerika Serikat (AS) mengenai Uber mengenai apa juga di New York juga tahu.

Sebetulnya, saya mulai terlibat dengan persiapan untuk melahirkan kembali pasar modal Indonesia pada saat saya menjadi asisten dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI), usia saya masih 20an sekian. Pada waktu itu pemerintahan Pak Harto memberi tugas kepada Alhamrhum Pak Radius Prawiro untuk namanya Bapepam-LK bagian Badan Persiapan Pasar Uang dan Pasar Modal. Saya sebagai asisten dosen di UI jurusan akuntansi, diminta untuk membantu menerjemahkan registration statement dan juga menerjemahkan US GAAP. Nah jadi saya itu mulai tertarik.

Poinnya, memang saya memiliki ketertarikan dari dulu untuk pengembangan pasar modal. Jadi pada waktu saya di Korea, kebetulan saya juga masih tetap sebagai komisaris Sarana Menara Nusantara, jadi saya harus mau tidak mau kan memonitor. Lalu juga teman-teman dari BEI Pak Tito dan Pak Ito Warsito dulu juga beberapa kali berkunjung ke Korea. Kemudian, PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) dan PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) juga berkunjung karena banyak kerja sama dengan Korea.

Lantas, Apa pendapat Anda terkait pergerakan dari IHSG secara keseluruhan?

Kalau kita lihat situasi Uber di Amerika Serikat (AS), CEO nya dipecat gitu, diminta mundur kan. Jadi sentimennya kan, loh ini hati-hati, kalau bisnis hanya ikut-ikutan doang seperti itu tanpa analisis fundamental yang bisa dipertanggungjawabkan gitu kan tau-tau kayak Uber. Corporate culture-nya katanya tidak beres gitu kan, kemudian masa kita bisa percaya perusahaan seperti itu.

Saya pikir, kalau kembali ke kita, di dalam konteks itu, memang ada sentimen yang cukup positif. Ada pengaruh besar dari upgrade peringkat invetasi dari Standard & Poor's (S&P) yang pertama ya. Lalu kemudian, kalau saya lihat. memang ya orang-orang mulai lihat juga sektor infrastruktur mulai ada cukup banyak yang baru.

Jadi biasanya, harga itu kan adalah refleksi aku akan untung atau nggak. Jadi ada confidence adalah up side nya akan bagus. Namun, saya juga selalu mengatakan, IHSG yang tinggi itu bagus tapi jangan sampai bubble karena kalau bubble itu kan pada akhirnya nggak bagus. Tapi kemungkinan kalau kita lihat dari analisis fundamental, Price Earning Ratio (PER) nya bagaimana sebetulnya ya valuasinya masih masuk akal, tidak gila-gilaan tinggi gitu kan.

Terkait penambahan jumlah emiten yang sudah dua tahun belakangan tidak pernah capai target, bagaimana Anda memandang kondisi ini?

Kalau kita hanya sekedar melihat angka absolut kok hanya ada 500 sekian emiten, perlu ditambah dong. Nah jawabnya dengan pasti, iya dong. Memang bagus kan banyak emiten, berarti kan pasarnya masih banyak pemain gitu kan ya, banyak opsi, banyak alternatif.

Nah, sekarang pertanyaannya adalah berapa banyak perusahaan di Indonesia yang siap untuk go public. Memang semakin lama semakin banyak yang siap, tetapi kan harus ada mentalitas siap untuk melaksanakan good of corporate governance. Nah, di dalam lingkungan di mana Indonesia ini sering kali indeks governance nggak terlalu bagus-bagus banget.

Jadi, nanti orang akan mengatakan kalau saya go public tahu-tahu saya harus benar-benar transparan, eh jadinya nggak bisa doing business. Eh saya mau lakukan hal-hal baik nanti kompetitor saya nakal. Jadi, sekarang juga ada cita-cita untuk emiten kita agak relaksasi aturannya, tetapi tetap tidak mengorbankan persepsi bahwa governance di Indonesia ini kurang bagus.

Kalau perbankan, saya mau minta kredit perbankan. Saya tau sebetulnya ini one main show, tetapi bisnisnya bagus, saya kasih juga kredit. Kalau emiten boleh nggak begitu? Kan harus dengan suatu komitmen bahwasanya ini manajemen harus bagus. Ada tata kelolanya, harus berani mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPS) dan paparan publik. Jadi perlu kita tingkatkan (jumlah emiten), tetapi memang perlu juga proses screening, proses seleksi supaya kredibilitas pasar modal kita ini tetap tinggi.

Belajar dari Pasar Modal Korea

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER