Jakarta, CNN Indonesia -- Bursa Efek Indonesia (BEI) telah menetapkan John Aristianto Prasetio sebagai Komisaris Utama menggantikan Robinson Simbolon melalui Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) yang digelar pada 21 Juni 2017.
Pria kelahiran Semarang tahun 1950 itu baru saja kembali ke Indonesia pada awal tahun ini usai menuntaskan pekerjaannya sebagai Duta Besar (Dubes) Korea Selatan selama empat tahun. Kini, John mendapat tugas baru untuk membawa BEI lebih maju dari posisinya saat ini.
Bidang pasar modal sendiri sudah mulai digeluti John di awal kariernya, sejak menjabat sebagai asisten dosen di Universitas Indonesia. John juga pernah masuk dalam jajaran dewan komisaris untuk beberapa perusahaan nasional, seperti PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) dan PT Global Mediacom Tbk (BMTR). Alhasil, pergerakan saham dalam negeri dan emiten di Indonesia tentu bukan hal baru bagi John.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menetap selama empat tahun di Korea Selatan, John mengaku ingin membawa budaya negeri gingseng tersebut yang disebut dengan
pali-pali atau cepat-cepat dan disiplin. Namun, berbeda dengan jajaran direksi, sebagai komisaris utama, John tidak akan menyentuh langsung operasional atau kebijakan Bursa, melainkan mengawasi dan memberikan saran untuk direksi. Bagaimana John akan membawa perubahan pada Bursa Efek Indonesia, berikut wawancara CNNIndonesia.com dengan John belum lama ini.
Bagaimana penunjukan Anda sebagai Komisaris Utama BEI?
Saya sendiri kaget. Ini suatu tugas yang menurut saya tidak mudah, tidak senang-senang. Saya ketahui hal itu, suatu tugas mulia juga kalau saya memberikan sumbangan untuk pasar modal kita agar
governance (tata kelola) nya lebih bagus. Dulu saya mulai karir pada waktu muda sebagai asisten dosen terus diminta bantu pengembangan pasar modal, sekarang boleh dibilang saya di usia senja, menjelang akhir-akhir karir saya, saya mendapatkan kesempatan sekali lagi. Saya pikir ya saya pergunakan kesempatan itu.
Sebetulnya kan begini ya, terus terang saja karena saya di Korea Selatan jadi saya dengan petinggi-petinggi di Indonesia itu tidak begitu kenal lagi. Kalau di Kementerian Luar Negeri ya kenal, jadi saya termasuk heran juga, karena di Indonesia kan katanya
who you know is more important than what you know. Lah, saya kok tau-tau dipilih jangan-jangan nih saya punya koneksi, nggak
loh saya nggak begitu kenal (dengan petinggi).
Saya punya
respect sama mereka, saya tahu foto-foto mereka, yang di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) misalnya. Tapi kan saya sebetulnya belum pernah ketemu berdua Ibu Nurhaida sebelumnya. Jadi, ini sebenarnya suatu tugas yang benar-benar profesional.
Lalu. memang terlintas pada waktu itu di pikiran saya, aduh apa ini nanti tidak terlalu repot gitu ya. Apa nggak waktunya saya
ongkang-ongkang kaki, main golf gitu. Saya dapat tugas ini, saya mencoba untuk
try to do my best. Direksi mempunyai banyak aspirasi, mempunyai banyak cita-cita, ambisi yang besar. Ya mungkin saya sebagai yang sudah cukup senior bisa membantu memberikan
wisdom supaya semua ambisi yang positif itu bisa terlaksana gitu.
Empat tahun menjabat sebagai Dubes Korea Selatan, apakah Anda masih memantau pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan perkembangan pasar modal Indonesia?Sebetulnya kan kalau di era teknologi itu informasi bisa diterima secara instan.
What’s going on di Amerika Serikat (AS) mengenai Uber mengenai apa juga di New York juga tahu.
Sebetulnya, saya mulai terlibat dengan persiapan untuk melahirkan kembali pasar modal Indonesia pada saat saya menjadi asisten dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI), usia saya masih 20an sekian. Pada waktu itu pemerintahan Pak Harto memberi tugas kepada Alhamrhum Pak Radius Prawiro untuk namanya Bapepam-LK bagian Badan Persiapan Pasar Uang dan Pasar Modal. Saya sebagai asisten dosen di UI jurusan akuntansi, diminta untuk membantu menerjemahkan registration statement dan juga menerjemahkan US GAAP. Nah jadi saya itu mulai tertarik.
Poinnya, memang saya memiliki ketertarikan dari dulu untuk pengembangan pasar modal. Jadi pada waktu saya di Korea, kebetulan saya juga masih tetap sebagai komisaris Sarana Menara Nusantara, jadi saya harus mau tidak mau kan memonitor. Lalu juga teman-teman dari BEI Pak Tito dan Pak Ito Warsito dulu juga beberapa kali berkunjung ke Korea. Kemudian, PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) dan PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) juga berkunjung karena banyak kerja sama dengan Korea.
Lantas, Apa pendapat Anda terkait pergerakan dari IHSG secara keseluruhan?Kalau kita lihat situasi Uber di Amerika Serikat (AS), CEO nya dipecat gitu, diminta mundur kan. Jadi sentimennya kan,
loh ini hati-hati, kalau bisnis hanya ikut-ikutan doang seperti itu tanpa analisis fundamental yang bisa dipertanggungjawabkan gitu kan tau-tau kayak Uber.
Corporate culture-nya katanya tidak beres gitu kan, kemudian masa kita bisa percaya perusahaan seperti itu.
Saya pikir, kalau kembali ke kita, di dalam konteks itu, memang ada sentimen yang cukup positif. Ada pengaruh besar dari
upgrade peringkat invetasi dari Standard & Poor's (S&P) yang pertama ya. Lalu kemudian, kalau saya lihat. memang ya orang-orang mulai lihat juga sektor infrastruktur mulai ada cukup banyak yang baru.
Jadi biasanya, harga itu kan adalah refleksi aku akan untung atau nggak. Jadi ada
confidence adalah
up side nya akan bagus. Namun, saya juga selalu mengatakan, IHSG yang tinggi itu bagus tapi jangan sampai bubble karena kalau bubble itu kan pada akhirnya nggak bagus. Tapi kemungkinan kalau kita lihat dari analisis fundamental,
Price Earning Ratio (PER) nya bagaimana sebetulnya ya valuasinya masih masuk akal, tidak gila-gilaan tinggi gitu kan.
Terkait penambahan jumlah emiten yang sudah dua tahun belakangan tidak pernah capai target, bagaimana Anda memandang kondisi ini?Kalau kita hanya sekedar melihat angka absolut kok hanya ada 500 sekian emiten, perlu ditambah dong. Nah jawabnya dengan pasti, iya dong. Memang bagus kan banyak emiten, berarti kan pasarnya masih banyak pemain gitu kan ya, banyak opsi, banyak alternatif.
Nah, sekarang pertanyaannya adalah berapa banyak perusahaan di Indonesia yang siap untuk
go public. Memang semakin lama semakin banyak yang siap, tetapi kan harus ada mentalitas siap untuk melaksanakan
good of corporate governance. Nah, di dalam lingkungan di mana Indonesia ini sering kali indeks
governance nggak terlalu bagus-bagus banget.
Jadi, nanti orang akan mengatakan kalau saya
go public tahu-tahu saya harus benar-benar transparan, eh jadinya nggak bisa
doing business. Eh saya mau lakukan hal-hal baik nanti kompetitor saya nakal. Jadi, sekarang juga ada cita-cita untuk emiten kita agak relaksasi aturannya, tetapi tetap tidak mengorbankan persepsi bahwa
governance di Indonesia ini kurang bagus.
Kalau perbankan, saya mau minta kredit perbankan. Saya tau sebetulnya ini
one main show, tetapi bisnisnya bagus, saya kasih juga kredit. Kalau emiten boleh nggak begitu? Kan harus dengan suatu komitmen bahwasanya ini manajemen harus bagus. Ada tata kelolanya, harus berani mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPS) dan paparan publik. Jadi perlu kita tingkatkan (jumlah emiten), tetapi memang perlu juga proses
screening, proses seleksi supaya kredibilitas pasar modal kita ini tetap tinggi.
Bagaimana perbedaan antara investor di Korea dan di Indonesia? Apakah pasar modal di Korea sudah lebih lekat dengan masyarakat?
Jadi orang Korea itu kan juga kebanyakan ibu-ibunya pegang uang kan. Yang menginvestasikan gitu loh, dan jadi kalau pergi ke mall gitu biasanya ada semacam kayak ATM. tetapi kalau mau beli saham online segalanya itu dimudahkan. Jadi nggak terlalu rumit. Kemudian bisa pakai smartphone. Kita bisa monitor harga itu di mall, itu juga sudah sesuatu hal yang lumrah, seperti mau beli tisu ada alfamart nya, lalu misal saya ke fittness center-nya, di situ kadang-kadang orang-orang lagi lihat-lihat harga saham.
Artinya, masyarakat Korea Selatan sudah jauh lebih akrab dengan investasi saham jika dibandingkan dengan Indonesia?
Saya pikir begitu. Di sini kalau dilihat mereka yang memiliki Single Investor Identification (SID) tidak begitu banyak. Nah pemikiran saya, kalau middle class itu growing berarti mereka punya tabungan. Misalnya A punya tabungan, terus kemudian diberitahu oleh orang tua yang aman beli emas saja, harganya pasti naik.
Nah, saya mengatakan, ke depannya harus dicarikan jalan supaya tabungan itu dibuat supaya produktif untuk perekonomian Indonesia. Caranya apa? Ya itu untuk beli saham. Beli saham atau beli obligasi, uangnya diputerin. Uangnya diputerin sama perusahaan kan uangnya jadi bagus, jadinya win-win. Kalau ditempatkan di emas kan uangnya sama saja menganggur. Poinnya adalah sebetulnya bagaimana memobilisasi dana supaya lebih produktif.
Jadi sebetulnya, kalau kami melihat kesempatan ini sebagai glass half full, perspektif gelang setengah terisi, artinya apa? kesempatannya banyak. Kalau orang yang pesimis bilangnya, aduh kalau kita nggak beres-beres, semua uang itu dipakainya di Singapore, buktinya tax amnesty itu uangnya tidak kembali semua tapi hanya dideklarasi aja.
Alasannya, oh itu sudah saya beliin properti, oh sejumlah uangnya lagi beli saham di Singapura. Ada gula ada semut, kalau di Jakarta itu pastinya lebih untung kan uangnya dikembalikan. Jadi poin saya adalah bagaimana menciptakan gula-gula tadi supaya semutnya pada datang.
Apa menciptakan gula-gula tadi atau membuat pasar lebih confidence merupakan fokus Anda saat ini?
Tentunya kami harus membedakan tugas direksi dan tugas komisaris. Kalau untuk operasionalnya itu tugas dari direksi. Jadi jangan sampai nanti tumpang tindih. Kami harus dukung direksi untuk mengembangkan hal-hal tadi, tetapi delivery system nya itu datang dengan adanya direksi BEI yang kuat.
Nah kalau tugas dari komisaris, begini, jadi kemarin (Kamis, 22 Juni 2017) saya bertemu dengan Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Bu Nurhaida. Jadi poin saya itu adalah bahwa dewan komisaris adalah melakukan fungsi offer side kepada direksi, kemudian dewan komisaris itu juga memberikan saran-saran kepada direksi. Nah kemudian kami bertanya, kira-kira apa yang perlu kami prioritaskan? Nah dijawab oleh Bu Nurhaida, tentunya yang menjadi tujuan itu sama dengan direksi yaitu bagaimana mengembangkan Bursa, emiten yang lebih banyak, investor yang juga lebih banyak tetapi juga lebih diperhatikan. Jadi, misalnya terima imbal hasil (return) nya bagus. Bursa nya lebih likuid dan sebagainya.
Nah, pendekatannya kalau OJK mengatakan, kami harus memberdayakan fungsi pengawasan yang lebih solid supaya governance itu baik. Nah governance itu kan berarti governance dari emiten dan juga governance dari BEI. Governance itu membuat pasar modal yang menjadi concern dari OJK itu adalah bagaimana BEI ini mempunyai kredibilitas yang tinggi. Jangan dianggap bahwa kredibilitasnya kalau di Indonesia ini, kalau mau spekulasi return-nya tinggi ya datang ke Indonesia, tetapi sifatnya adalah masuk dan keluar.
Begitu bagus, masuk saja dulu lalu ambil untung (profit taking). Jadi perhatian dari OJK adalah governance nya harus baik supaya kredibel, supaya volatilitas itu paling tidak bisa lebih pas lah gitu. Tentunya dari sudut pandang direksi BEI adalah bagaimana kami menyelaraskan fungsi dewan komisaris dan fungsi direksi supaya visi misi BEI ini bisa terealisasikan secara baik.
Artinya, tidak ada perubahan yang signifikan?
Ya, sebetulnya memang perubahan itu tidak bisa berubah langsung signifikan gitu kan. Perubahan itu harus dilakukan secara gradual (bertahap). Kemudian tentunya arahan dari Ibu Nurhaida juga adalah bagaimana kira-kira rekomendasi-rekomendasi yang telah dibuat oleh OJK, auditor, dan konsultan hukum itu bisa diimplementasikan. Sebenarnya kan beberapa indikator pasar modal itu bagus. Yang bagus harus dipertahankan atau dibuat lebih bagus lagi. Nah kemudian dibalik angka-angka tersebut kan ada infrastruktur.
Kami harus melihat, apakah infrastrukturnya itu lengkap. Jadi istilahnya, tugas dewan komisaris itu adalah to create value added. Bagaimana ada nilai tambah yang diberikan oleh kami. Nah, nilai tambah itu bisa dilihat dari segi ekonomi finansial, IHSG harus bagus, governance-nya harus bagus. Itu semuanya masuk kepada aspek ekonomi dan finansial. Yang kedua, sebetulnya nilai tambah itu di dalam arti human capital, capacity building.
Jadi, anggota bursanya juga harus kuat, semua pemain-pemainnya ini harus ada aturan permainan yang bagus. Yang ketiga disebut entractual capital. Entractual capital berarti infrastruktur di pasar modal di bursa efek itu harus canggih. Keempat, yang saya kira juga sangat penting adalah social capital. Social capital itu adalah menyangkut trust, artinya semua stakeholders itu percaya hubungannya baik. Stakeholders itu ada OJK,investor, dan BEI nya. Bisnis itu is all about trust. Kalau you trust me, I trust you.
Ada beberapa kebijakan BEI yang mundur dari target. Apa Anda akan turun langsung mengejar berbagai target kebijakan yang mundur tersebut?
Pak Tito Sulistio (Direktur Utama BEI) itu kan punya sikap yang sangat aktif. Kalau sampai tertunda kan dia sendiri yang stress, pasti dia marah-marah, pasti tekanan darah naik. Kami tanya saja, kok sampai tertunda kenapa, begitu. Kemudian, apa yang bisa kami bantu, kan kasarnya begitu. Begini, kadang-kadang Pak Tito ini kan 'jump' dulu gitu kan, which is good. Tapi pastinya kalau direktur utama nya tadi orangnya lambat, maka saya akan mendorong, tapi kalau ini kan sudah lari terus. Tapi sudah lari kok ini dia (Pak Tito) agak pelan dikit, ya pasti ada sesuatu gitu kan. Itulah yang mungkin kami perlu kaji bersama-sama.
Operasional tetap ada di tempat direksi. Namun, Indonesia itu kan mengikuti two borad system. Satu adalah board of directors yang bertanggung jawab manajemen dari bursa efek dan juga memperhatikan tata kelola perusahaan karena perusahaan itu dimiliki oleh masyarakat dan apapun yang dilakukan memiliki dampak ekonomi yang besar, gitu.
Nah, kemudian butuh dewan komisaris secara efektif melakukan pengawasan. Tentunya tujuannya apa, tadi supaya bursa kita ini kredibel dan kalau kredibel pasti akan lebih maju, dan semoga karena bursa kita maju tapi di tingkat global ini masih perlu banyak yang kita kejar.
Apakah ada budaya dari Korea Selatan yang bisa diadopsi dalam mengembangkan BEI atau pasar modal Indonesia?
Kalau dari segi revolusi mental memang Korea ini mengadakan revolusi mental di sekitar akhir tahun 1960 an dan awal 1970 an. Jadi mereka memiliki budaya yang disebut budaya pali-pali. Pali-Pali itu berarti cepat-cepat dan disiplin.
Kemudian, kalau tadi ditanya budaya apa yang juga bisa dipelajari, sebetulnya itu ada kata tiger. T itu teamwork, I itu intimacy (keintiman), intimacy itu berarti harus punya pengetahuan yang cukup, kompetensi yang cukup, intim dengan segala macam masalah yang memang ditugaskan untuk memecahkan. Kemudian G, masalah governance, itu adalah governance yang baik karena governance yang baik akan menciptakan trust. E itu excellence (keunggulan). Nah kita ini hidup mungkin tidak sempurna, tapi kita try our best, semangat pali-pali di Korea itu kita harus menjadi katakanlah excellence company. Semua harus excellence. Nah kemudian R itu adalah results oriented.
Kita ini bukan sekadar jalan di tread mill, tetapi harus betul-betul men-deliver apa yang menjadi misi kami. Jadi saya kira kalau bilang apa yang bisa dibawa, saya kira ya prinsip-prinsip semacam itu relevan untuk kita semua.
Untuk pasar modal sendiri budaya pali-pali tadi bisa diterapkan?
Iya jadi saya kira budaya pali-pali itu kan segala sesuatu harus cepat. Jangan terlalu hanya mengurusi birokrasinya dan harus disiplin, tetapi juga harus bertanggung jawab.
Secara keseluruhan, bagaimana potensi pasar modal Indonesia di Asia dan dunia?
Jadi saya kira dunia kita ini pastinya akan terus berubah, jadi akan ada perubahan-perubahan karena teknologi. Jadi saya sangat positif, saya sangat bullish. Kemudian saya kira juga akan menjadi hal yang harus diperhatikan kalau sekarang ini masih ada persepsi emiten hanya terdiri dari perusahaan-perusahaan yang elit.
Sebenarnya kan, di AS itu ada Nasdaq yang berkembang dan sebagainya. Di sini ada papan pengembangan juga, tetapi masih belum terlalu berkembang kan. Saya kira terlepas dari sentimen anti globalisasi, saya pikir ekonomi dunia tetap akan terintegrasi dan demikian pula interkoneksi pasar modal di dunia ini akan semakin tinggi.