Jakarta, CNN Indonesia -- PT Bank Central Asia Tbk (BCA) mencetak laba bersih sebesar Rp10,5 triliun sepanjang paruh pertama 2017, naik 10 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu
(year on year/yoy) Rp9,6 triliun.
"Upaya BCA dalam memperkuat bisnis perbankan transaksi dan kemampuannya dalam beradaptasi terhadap kondisi pasar terkini berhasil mendorong pertumbuhan dana sekaligus menghasilkan kredit yang berkualitas," tutur Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja dalam konferensi pers, Kamis (27/7).
Jahja mengungkapkan, salah satu faktor pendongkrak laba semester pertama tahun ini adalah turunnya biaya pencadangan
(provision). Biaya pencadangan perseroan turun 53,3 persen dari Rp2 triliun pada semester pertama tahun lalu menjadi Rp936 miliar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertumbuhan laba juga masih didorong oleh pendapatan bunga bersih
(Net Interest Income/NII) perseroan yang tumbuh 3,1 persen (yoy) menjadi Rp20,37 triliun. NII masih berkontribusi sebesar 74,3 persen terhadap total pendapatan operasional yang mencapai Rp27, 41 triliun. Sementara itu, penyaluran kredit tercatat tumbuh 11,9 persen (yoy) menjadi Rp433,61 triliun. Seiring dengan peningkatan kredit,
Jika dirinci, pertumbuhan kredit ditopang dari segmen korporasi yang melonjak 18,7 persen (yoy) menjadi Rp160, 74 triliun. Segmen konsumer kemudian mengekor dengan mencatatkan pertumbuhan 18,4 persen (yoy) menjadi Rp124,55 triliun.
Pertumbuhan kredit konsumer terutama ditopang oleh kredit pemilikan rumah yang tumbuh 21,9 persen (yoy) menjadi Rp75, 3 triliun. Kemudian, segmen kredit kendaraan bermotor yang tumbuh 12,2 persen (yoy) menjadi Rp38, 2 triliun dan outstanding kartu kredit meningkat 18 persen (yoy) menjadi Rp11, 1 triliun.
Sementara itu, kredit komersial dan usaha kecil dan menengah (UKM) hanya tumbuh tipis 1,2 persen menjadi Rp148,32 triliun. Pasalnya, perseroan memilih konservatif dengan lebih hati-hati dalam menyalurkan kredit padahal produk sejenis ditawarkan oleh kompetitor.
"Kami tidak mau kompromi dengan kualitas kredit. Kami tidak ingin dengan jaminan sedikit lalu memberikan fasilitas yang banyak," jelasnya.
Kendati biaya pencadangan diturunkan, kualitas kredit perseroan sebenarnya masih menghadapi tekanan. Tercatat rasio kredit bermasalah (NPL) kotor perseroan naik dari 1,4 persen menjadi 1,5 persen. Khusus untuk kredit komersial dan UKM, NPL tercatat lebih tinggi, yakni 2,2 persen. Angka ini masih lebih rendah dari industri yang ada di kisaran 3 persen.
Hingga akhir tahun, Jahja mengatakan ingin menjaga NPL di kisaran 1,5 hingga 2 persen.
Seiring peningkatan NPL, cadangan kredit juga tumbuh 23,7 persen menjadi Rp12, 5 triliun. Rasio cadangan terhadap kredit bermasalah tercatat sebesar 196,3 persen naik dari posisi yang sama tahun lalu, 193 persen. Ke depan, guna menjaga kualitas kredit, perseroan akan mengambil beberapa langkah mulai dari restrukturisasi kredit hingga menjual jaminan.
Dari sisi dana, pada paruh pertama tahun ini Dana Pihak Ketiga (DPK) tercatat masih tumbuh 16,7 persen menjadi Rp572, 2 triliun. Terjadi pergeseran porsi dana murah. Per akhir Juni 2017, dana giro dan tabungan yang dihimpun perusahaan
(Current Account Saving Account/CASA) tercatat sebesar Rp426,9 triliun atau berkontribusi sebesar 74,6 persen dari total DPK, lebih rendah dari periode sama tahun sebelumnya sebesar 77 persen.
Jahja mengungkapkan penurunan porsi dana murah salah satunya akibat langkah perseroan menaikkan bunga deposito sekitar satu persen selama Januari-Juni. "Dari kenaikan bunga deposito saja kami sudah mendapatkan Rp15 triliun," jelas Jahja.
Ke depan, Jahja ingin perseroan menjaga porsi CASA di level 75 hingga 76 persen dengan perlahan-lahan kembali menurunkan suku bunga deposito. "Kalau rate deposito turun akan positif dampaknya ke laba," jelasnya.
Lebih lanjut, posisi permodalan dan likuiditas BCA tetap terjaga dengan rasio kecukupan modal
(Capital to Adequaty Ratio/CAR) sebesar 22,1 persen dan rasio kredit terhadap pendanaan (LFR) sebesar 74,5 persen.
(agi)