Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintahan Presiden Joko Widodo menargetkan dapat memangkas angka kemiskinan dari tahun ini sebesar 10,4 persen menjadi di kisaran 9,5 persen hingga 10 persen pada tahun depan. Pemerintah juga ingin memangkas ketimpangan pendapatan masyarakat kaya dan miskin dengan menargetkan
gini ratio dari 0,39 pada tahun ini menjadi 0,38 pada tahun depan.
Berdasarkan draf Nota Keuangan RAPBN 2018 yang diterima
CNNIndonesia.com, untuk mencapai sasaran target tersebut, pemerintah pun mencanangkan beberapa strategi kebijakan penanggulangan kemiskinan yang disusun dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2018.
Pertama, pemerintah memastikan pelaksanaan program jaminan dan bantuan sosial disalurkan secara tepat sasaran melalui bantuan sosial dan subsidi tepat sasaran melalui satu kartu. Hal ini diharapkan juga memperluas inklusi keuangan dan kepesertaan jaminan sosial.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua, untuk memastikan pemerataan ekonomi pemerintah juga akan menyediakan kebutuhan dasar melalui perluasan dan prasarana dasar serta meningkatkan inklusivitas pelayanan dasar dan peningkatan pemanfaatan Pemutakhiraan Basis Data Terpadu (PBDT) untuk mensasar kebutuhan dasar 40 persen penduduk berpendapatan terendah.
Selanjutnya pemerintah juga akan memperluas akses usaha mikro, kecil, dan koperasi melalui peningkatan kualitas produk dan akses jangkauan pemasaran bagi usaha mikro dan kecil.
Tak hanya kemiskinan, pada tahun 2018 pemerintah juga menargetkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) turun ke kisaran 5 persen hingga 5,3 persen, dari proyeksi tahun ini yang mencapai 5,4 persen. Penurunan ini didorong oleh kinerja pertumbuhan ekonomi yang diharapkan berkualitas sehingga dapat menciptakan lapangan kerja yang seluas-luasnya.
Ekonom Institute for Development of Economics & Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai target penurunan kemiskinan dan angka gini ratio yang dipatok pemerintah tersebut terlalu muluk. Pasalnya, pada Maret 2017, angka kemiskinan masih bertengger dikisaran 10,64 persen. Jumlah penduduk miskin bahkan bertambah 6.900 orang dibandingkan September 2016 mmenjadi 27,7 juta.
"Target terlalu ambisius kurang realistis, karena menurunkan angka ketimpangan dan kemiskinan tidak hanya bisa dengan menggunakan anggaran bantuan sosial," ujar Bhima kepada
CNNIndonesia.com, Rabu (16/8).
 Foto: CNN Indonesia/Hesti Rika Pratiwi Perkampungan nelayan |
Bhima menyebut, pada tahun lalu, anggaran bantuan sosial yang digelontorkan pemerintah cukup besar. Namun, anggaran tersebut nyatanya tak banyak membantu menurunkan angka kemiskinan, maupun gini ratio yang hanya turun 0,001 menjadi 0,393.
Dalam RAPBN 2018, pemerintah menganggarkan subsidi sebesar Rp172,40 triliun naik 20,9 persen dari proyeksi penyaluran subsidi di APBNP 2017 yang sebesar Rp168,87 triliun. Adapun rinciannya, subsidi energi dialokasikan sebesar Rp103,36 triliun, naik 15 persen dari proyeksi APBNP 2017 yang sebesar Rp89,86 triliun. Sementara subsidi nonenergi dialokasikan sebesar Rp69,03 triliun turun 12,6 persen dari proyeksi subsidi APBNP 2017 yang sebesar Rp79 triliun.
Namun, Bhima mengingatkan anggaran subsidi energi yang sebenarnya tak banyak meningkat jika dibandingkan APBN-P 2017. Kondisi tersebut membuat rentannya kenaikan pada harga BBM, LPG, maupun tarif listrik pada tahun depan. "Kenaikan harga yang diatur pemerintah ini rentan membuat angka kemiskinan meningkat," terang Bhima.
Bhima pun menilai, dengan kondisi saat ini, penurunan angka kemiskinan ke level 10,2 persen sudah cukup bagus. Pemerintah diperkirakan akan sulit mencapai target angka kemiskinan dibawah 10 persen pada tahun depan.
Guna mendorong penurunan kemiskinan, menurut Bhima, pemerintah tak hanya perlu mengerek anggaran bantuan sosial, tetapi juga memastikan penyaluran dana tersebut efektif. Selain dana bantuan sosial, dana desa juga sebenarnya dinilai efektif dalam mendorong penurunan kemiskinan, sepanjang penggunaanya dapat didorong lebih efektif.
"Selain itu, reformasi agraria itu juga sangat signfiikan dalam mendorong penurunan kemiskinan. Sertifikasi lahan yang dijanjikan pemerintah sudah, tapi distribusi lahan sejauh ini belum terlihat," ungkap dia.
Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan, belanja negara yang bertambah tak otomatis ampuh menyusutkan kemiskinan, ketimpangan, dan pengangguran. Sebab, yang terpenting adalah bagaimana belanja yang dianggarkan mampu tersalur tepat ke sasaran.
Hal ini menurut dia terlihat dari realisasi kuartal II 2017, di mana anggaran bansos cukup tinggi, namun terlambat diberikan. Kondisi tersebut membuat dana bansos gagal menjadi stimulus bagi konsumsi masyarakat yang hanya tumbuh 4,95 persen dari kuartal I 2017 sebesar 4,94 persen.
"Rekam jejaknya, anggaran bansos setiap tahun selalu ditambah, tapi dampaknya untuk mengerek pertumbuhan ekonomi masyarakat, khususnya kepada kesejahteraan masih kurang," ujar Faisal.
Salah satunya penyebabnya, sambung Faisal terlihat dari ketidakmampuan pemerintah dalam memperbaharui data penerima bansos yang masih sama saja dengan tahun-tahun sebelumnya, yaitu yang berasal dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).
"Sejak zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), data bansos masih sama. Kalau mau tepat sasaran, tentu data TNP2K ini dibenahi lebih dulu agar anggaran tidak percuma," imbuh Faisal.
Namun begitu, Faisal menggarisbawahi beberapa program yang saat ini telah ada dan harus dilanjutkan di tahun depan lantaran diprediksi ampuh meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yaitu melalui pemberian bansos dari tunai menjadi non tunai. Namun, bila ingin program ini jitu memangkas kemiskinan, pemerintah perlu lebih dahulu mengedukasi masyarakat dengan inklusi keuangan yang tepat sasaran, sehingga masyarakat kelas bawah yang rentan akan jerat kemiskinan memiliki kepercayaan terhadap akses perbankan. Pasalnya, perbankan menjadi fasilitator penyalur bansos non tunai tersebut.
"Hambatannya inklusi keuangan itu, kan masyarakat miskin akses ke perbankannya masih rendah sekali. Mereka tidak mengerti, tidak mau bahkan," kata Faisal.
Bila hal ini dilakukan, tentu program lain, yaitu kredit ultra mikro. "Ultra mikro ini bagus tapi lagi-lagi belum sampai ke garis kemiskinan terendah," pungkas Faisal.
Sementara itu, ekonom Bank Pertama Josua Pardede melihat, kunci agar besarnya belanja negara mampu memberi dampak pada pengentasan kemiskinan dan ketimpangan antar masyarakat kaya dan miskin, adalahmengoptimalkan dana desa.
Pasalnya, Josua mencatat, penurunan ketimpangan dalam beberapa terakhir bukan karena penduduk miskin berkurang, tetapi karena penduduk kaya yang berkurang.
"Upah buruh tani desa itu naik tapi efeknya masih sama saja, karena yang miskin memang tidak berkurang, yang kaya yang berkurang," kata Josua.
Dana desa diharapkan Josua benar-benar ampuh menyasar masyarakat miskin yang masih banyak di desa. Hanya saja, pemerintah perlu memastikan bahwa dana desa tidak dikorupsi dan hanya memperkaya pejabat daerah.
Sementara untuk menumpas ketimpangan, pemerintah perlu juga menjamin penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat.