Jakarta, CNN Indonesia -- Rasanya, sudah bukan rahasia umum lagi bahwa belanja negara membengkak di tahun depan. Kelihatannya, hasrat penghematan negara masih akan dibayangi kenaikan pengeluaran, mulai dari belanja kementerian lembaga, subsidi, hingga transfer dana desa.
Menurut nota keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018, belanja negara tahun depan diperkirakan Rp2.204,38 triliun atau meningkat 5,02 persen dibanding perkiraan tahun ini, yaitu Rp2.098,94 triliun. Berkaca pada keadaan ini, sudah barang tentu dibutuhkan sumber pendanaan yang mumpuni.
Penerimaan negara di tahun depan ditaksir Rp1.878,45 triliun. Belum bisa menutupi seluruh belanja negara. Jangan heran, jika pemerintah mengupayakan segala cara guna menggenjot penerimaan, tak terkecuali dari setoran Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai pemilik saham di 118 BUMN, pemerintah memiliki hak untuk mendapatkan dividen atas laba yang ditorehkan anak-anak usahanya setiap tahun. Dividen inilah yang kemudian masuk ke dalam pos Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Adapun, setoran dividen tahun depan diperkirakan sebesar Rp43,69 triliun atau hanya 2,3 persen dari penerimaan negara. Angka ini tercatat meningkat 6,6 persen dibanding realisasi tahun lalu sebesar Rp41 triliun. Namun, dengan angka yang kecil, ternyata kontribusi dividen antar BUMN terbilang tidak imbang.
Sebut saja, PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) yang didapuk sebagai penyumbang dividen terbesar tahun depan dengan angka gabungan Rp10,12 triliun atau 23,26 persen dari total seluruh dividen BUMN tahun depan.
Bahkan, kontribusi dua perusahaan yang sama-sama bergerak di sektor energi ini pun hampir setara dengan dividen empat bank pelat merah kepada pemerintah yang diperkirakan sebesar Rp10,94 triliun pada periode yang sama.
Tentu, pemerintah menaruh harapan besar bagi Pertamina dan PLN. Ibarat kata, keduanya merupakan anak kesayangan, mengingat kontribusinya sebagai penopang pundi keuangan negara. Namun, sayang beribu sayang, Kementerian BUMN harus menelan pil pahit karena dua anak usahanya ini gelagapan untuk memenuhi permintaan setoran dividen tahun depan.
Pertamina mengalami tekanan performa keuangan karena harga minyak yang menanjak dibandingkan tahun lalu. Sepanjang semester I tahun ini, rata-rata harga minyak mentah Indonesia tercatat di angka US$48,84 per barel atau naik 35,06 persen dibanding tahun sebelumnya US$36,16 per barel.
 Pertamina dan PLN menjadi tumpuan pemerintah dalam mengisi pos Penerimaan Negara Bukan Pajak. Namun, keduanya megap-megap tertekan performa keuangan. (CNN Indonesia/Astari Kusumawardhani). |
Padahal, pemerintah tak mengubah harga Bahan Bakar Minyak (BBM) penugasan untuk jenis premium dan solar sejak awal tahun lalu. Direktur Keuangan Pertamina Arief Budiman bilang, kondisi ini membuat laba dari sisi hilir migas tertekan. Sehingga, kemungkinan, perusahaan tidak bisa mencapai target laba hingga akhir tahun nanti.
Awalnya, perseroan menargetkan laba hingga akhir tahun ini di angka Rp40,62 triliun. Namun melihat capaian semester I yang hanya Rp18,9 triliun, ada kemungkinan capaian laba hingga semester I nanti hanya Rp27 triliun. Padahal, tahun lalu, perseroan bisa meraup laba hingga Rp41,9 triliun.
"Kalau harga minyak hingga akhir tahun masih seperti ini, kami melihat ada penurunan laba sampai Rp27 triliun," paparnya.
Sebetulnya, Pertamina bisa saja menyetor dividen ke pemerintah sesuai angka yang dipatok. Namun, itu baru bisa tercapai apabila rasio dividen (payout ratio) ditetapkan lebih tinggi dari ketentuan saat ini, yaitu 20 persen dari laba. Namun, jika pemerintah tak mengubah payout ratio, maka setoran dividen hanya Rp5,4 triliun atau lebih rendah ketimbang keinginan pemerintah yang sebesar Rp8,12 trillun.
Pertamina sendiri tak ingin meningkatkan payout ratio. Perseroan lebih ingin meningkatkan laba ditahan demi memperbesar pendanaan internal. Sebab, perusahaan memiliki banyak proyek yang perlu dilakukan, seperti perbaikan kapasitas dan kompleksitas empat kilang perusahaan, pembangunan dua kilang baru, hingga penugasan BBM satu harga.
"Bahkan, sebenarnya kami ingin agar payout ratio direndahkan karena ada proyek-proyek besar. Ke depan, mungkin kami perlu diskusikan ini dengan pemegang saham," terangnya.
Setali tiga uang, PLN juga mengaku tidak sanggup untuk menyetor dividen sebesar Rp2 triliun di tahun depan. Serupa dengan Pertamina, PLN meramal bahwa laba hingga akhir tahun nanti tak cemerlang seperti tahun sebelumnya.
Direktur Utama Sofyan Basyir menyebut, kemungkinan laba PLN hingga akhir tahun berada di angka Rp6 triliun atau lebih kecil dibandingkan realisasi tahun lalu yang sebesar Rp10,5 triliun. Ekspektasi ini juga jauh di bawah target sebelumnya yakni Rp15 triliun.
Ia menyebut, keuangan perusahaan tertekan dari meningkatnya harga batu bara, mengingat 55,6 persen dari kapasitas terpasang pembangkit listrik saat ini sebesar 54.015 Megawatt (MW) disokong menggunakan tenaga batu bara. Sementara, di sisi lain, pemerintah tidak mengubah tarif listrik sejak awal tahun kemarin.
 Direktur Utama Sofyan Basyir menyebut, kemungkinan laba PLN hingga akhir tahun berada di angka Rp6 triliun atau lebih kecil dibandingkan realisasi tahun lalu yang sebesar Rp10,5 triliun. (CNN Indonesia/Safir Makki). |
"Kenaikan harga batu bara sudah hampir mencapai 64 persen secara tahunan dan tren kenaikan harga batu bara acuan ini mungkin akan terjadi hingga akhir tahun nanti," kata Sofyan.
Sofyan bahkan meminta pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melonggarkan perseroan dari setoran dividen tahun buku 2017. Selain laba yang diramal turun, perusahaan setrum pelat merah itu mengklaim juga membutuhkan belanja modal sebesar Rp120 triliun. Sehingga, perusahaan harus meningkatkan rasio laba ditahan demi menyokong pendanaan internal.
“Kami mengusulkan tidak menyetor dividen tahun ini, karena tidak diizinkan menaikkan tarif di tengah kenaikan harga energi primer yang terjadi. Meski tahun buku 2017, namun ini akan berlaku di tahun anggaran 2018 mendatang," jelasnya.
Memang, penerimaan negara dari dividen tidak seberapa jika dibandingkan pos lain, seperti pajak. Meski begitu, tetap saja hal ini tidak bisa dipandang enteng begitu saja.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, pemerintah menargetkan kenaikan PNBP sebesar Rp7,6 trilliun dibanding APBNP 2017 atau naik 2,9 persen.
Nyatanya, realisasi PNBP dalam empat tahun terakhir malah bergerak minus 5 persen gara-gara pergolakan harga minyak dunia dan batu bara. Oleh karenanya, setoran dividen harus bisa menjadi sandaran kalau nanti PNBP lainnya tak capai target gara-gara faktor eksternal.
Selain itu, pemerintah juga perlu mengkaji kemampuan BUMN lainnya dalam menyetor dividen kepada negara. Sebab, pemerintah juga memberikan Penyertaan Modal Negara (PMN) bagi beberapa BUMN, sehingga harusnya suntikan dana ini diimbangi dengan setoran dividen yang juga mumpuni. Kalau tidak, maka PMN bisa terkesan mubazir dan justru membebani APBN.
"Apalagi, tiap tahun (BUMN) disuntik PMN triliunan. BUMN yang kinerjanya buruk malah jadi beban APBN. Kalau ternyata terjadi mismanajemen (BUMN), pemerintah wajib cemas," papar Bhima.
Meski demikian, masih ada harapan bahwa dividen BUMN bisa menyokong penerimaan negara ke depan. Memang, BUMN energi yang selama ini menyumbang dividen terbanyak, masih lunglai, tetapi BUMN sektor lainnya masih bisa membantu penerimaan negara.
Ia mencontohkan, BUMN sektor perbankan yang diproyeksi punya kinerja kinclong tahun ini akibat penyaluran kredit infrastruktur. Begitu pun dengan BUMN sektor konstruksi yang dianggap masih memiliki prospek cerah.
"Selain itu, sebenarnya tahun depan bisa jadi titik balik bagi Pertamina karena harga minyak proyeksinya naik di atas US$50 per barel. Jadi, ke depan, prospek dividen BUMN masih cukup bagus dengan asumsi sebagian BUMN hanya tertekan, karena faktor eksternal bukan masalah manajerial," tutur dia.
Jika memang dividen BUMN tetap tak bisa diharapkan, pemerintah mau tak mau harus mencari potensi PNBP lainnya. Untuk itu, pemerintah bisa menyempurnakan aturan jenis dan tarif PNBP melalui revisi Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 1997 dan perbaikan pelaporan kementerian dan lembaga agar PNBP bisa dicatat dengan baik.
"Strategi mencapai target PNBP 2018 bisa dilakukan melalui beberapa cara lain," paparnya.