Jakarta, CNN Indonesia -- Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melansir, total utang pemerintah pusat mencapai Rp3.825,79 triliun per akhir Agustus 2017 atau bengkak Rp45 triliun dibandingkan posisi akhir Juli 2017, yaitu Rp3.779,98 triliun.
"Tambahan pembiayaan utang tersebut memungkinkan kenaikan belanja produktif di bidang pendidikan, infrastruktur, kesehatan, transfer ke daerah dan dana desa, serta belanja sosial," mengutip DJPPR, Jumat (22/9).
Jika dirinci, sebagian besar utang pemerintah didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN), di mana akumulasi nilai penerbitan SBN tembus Rp3.087,95 triliun (80,7 persen dari total utang pemerintah) per Agustus atau naik dari posisi akhir bulan sebelumnya, yakni Rp 3.045 triliun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagian besar penerbitan SBN dilakukan dalam denominasi rupiah, yaitu sebesar Rp2.246,16 triliun. Sementara, SBN dalam denominasi valuta asing tercatat sebesar Rp841,79 triliun atau US$63,05 miliar (kurs Rp13.351 per dolar Amerika Serikat).
Berikutnya, utang pemerintah juga berasal dari pinjaman yang berkontribusi sebesar 19,3 persen dari total utang per akhir Agustus 2016 atau sebesar Rp737,85 triliun, tumbuh dari posisi akhir Juli 2017 yang sebesar Rp734,98 triliun.
Mayoritas pinjaman berasal dari pinjaman luar negeri sebesar Rp732,37 triliun, sedangkan sisanya berasal dari pinjaman dalam negeri sebesar Rp5,48 triliun.
Berdasarkan krediturnya, pinjaman pemerintah pusat didominasi oleh sebagian besar berasal dari Bank Dunia, Jepang, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan lembaga lainnya.
Lebih lanjut, DJPPR menilai, utang pemerintah masih relatif terkendali dengan proyeksi rasio utang Indonesia terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) hingga akhir tahun sebesar 28,1 persen.
Rasio itu masih lebih rendah dibandingkan negara tetangga di kawasan ASEAN seperti Malaysia (56 persen), Thailand (41,8 persen), dan Filipina (32,6 persen).
"Dalam pengelolaan risiko utang, pemerintah senantiasa melakukannya dengan hati-hati dan terukur, termasuk juga menjaga risiko pembiayaan kembali, risiko tingkat bunga, serta risiko nilai tukar dalam posisi yang terkendali," seperti tertulis dalam paparan DJPPR.