Ada Kekurangan PNBP dari Beban Cost Recovery US$956,04 Juta

CNN Indonesia
Rabu, 04 Okt 2017 13:27 WIB
Salah satu kelebihan cost recovery berasal dari penerbitan change order kontrak proyek Banyu Urip EPC 1 Production Processing Facilities.
Salah satu kelebihan cost recovery berasal dari penerbitan change order kontrak proyek Banyu-Urip-EPC 1 Production Processing Facilities. (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa).
Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melansir ada kekurangan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) minyak dan gas dari kelebihan beban cost recovery sebesar US$956,04 juta pada 2015 silam.

Kepala Biro Humas dan Kerja Sama Internasional BPK R Yudi Ramdan Budiman mengungkapkan, salah satu kelebihan cost recovery berasal dari penerbitan change order kontrak proyek Banyu-Urip-EPC 1 Production Processing Facilities yang belum mengantongi persetujuan SKK Migas senilai US$484,11 juta.

Tak hanya itu, BPK juga mensinyalir ada denda keterlambatan dan beban biaya estimated sum yang tidak sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak proyek tersebut dengan nilai US$58,25 juta.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selanjutnya, kata Yudi, beban biaya farm out kapal pemboran Deepwater Asgard ke Teluk Meksiko yang belum diaudit oleh SKK Migas sebesar US$266 juta membuat BPK tak bisa menilai kewajaran atas biaya tersebut.

Beban cost recovery lainnya juga terdampak dari pembebanan biaya atas remunerasi, iuran pensiun, bonus insentif, asuransi, dan tunjangan pajak penghasilan tenaga kerja asing (TKA). Yudi mengklaim, jumlah nilai yang dibebankan berbeda dengan aturan pemerintah.

"Pembebanan biaya senilai US$89,94 juta tidak sesuai dengan putusan Mahkamah Agung, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, dan PTK SKK Migas," terang Yudi, Rabu (3/10).

Permasalahan lainnya, sambung dia, dalam bagi hasil migas ditemukan dari 17 Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang belum menyelesaikan kewajiban pajaknya sampai dengan tahun pajak 2015 sebesar US$209,25 juta.

“Sehingga, negara tidak dapat segera memanfaatkan dana pajak untuk pembangunan nasional," imbuh dia.

Secara terpisah, Kepala Auditorat VII.A Suparwadi menjelaskan, BPK akan memasukkan entitas yang masih melanggar aturan pemerintah dalam menjalankan skema cost recovery ke dalam kategori pencurian atau pemalsuan.

"Kalau sampai mereka tidak melakukan koreksi, maka dampaknya kepada penerimaan negara menjadi berkurang. Itu bisa dikategorikan melawan hukum," tutur Suparwadi.

Namun, ia memastikan, BPK belum menetapkan satu entitas ke dalam kategori tersebut hingga saat ini. Ia menambahkan, terdapat 85 KKKS yang dilakukan pengecekan oleh BPK.

"Itu semua kami cover. Jadi, akan ketahuan, tidak bisa curi-curi," pungkasnya.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER