Kemenkeu Kesulitan Susun Pajak Kontrak Bagi Hasil Gross Split

CNN Indonesia
Rabu, 27 Sep 2017 01:09 WIB
Hal ini lantaran pemerintah dan pelaku usaha hulu migas belum sepakat ihwal pengenaan pajak tidak langsung (indirect tax) di masa eksploitasi.
Hal ini lantaran pemerintah dan pelaku usaha hulu migas belum sepakat ihwal pengenaan pajak tidak langsung (indirect tax) di masa eksploitasi. (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa).
Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengaku masih menemui kendala dalam menyusun Peraturan Pemerintah (PP) untuk perlakuan pajak bagi skema kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract/PSC) Gross Split. Hal ini lantaran pemerintah dan pelaku usaha hulu migas belum sepakat ihwal pengenaan pajak tidak langsung (indirect tax) di masa eksploitasi.

Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengungkapkan, sebetulnya, aturan pajak eksploitasi di PSC Gross Split memiliki semangat yang sama seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2017 yang mengatur tentang pemulihan biaya operasi migas di era PSC Cost Recovery.

Adapun, di dalam peraturan itu, pemerintah bisa saja membebaskan pajak tidak langsung, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sesuai penilaian keekonomian proyek dari Menteri ESDM.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Rencananya, kebijakan yang sama juga akan diberlakukan untuk PSC Gross Split. Namun, pemerintah ingin agar PPN dan PBB bisa dibebankan kepada kontraktor jika proyek hulu migas sudah melalui titik impas. Sebab, jika indirect tax ini dibebaskan terus, maka itu akan tidak adil bagi penerimaan pajak negara.

“Kalau selamanya semua proyek tidak dikenakan PPN dan PBB, tax foregone Indonesia ya semakin banyak. Ini yang sedang kami cari solusi,” ujarMardiasmo di sela-sela Pertambangan dsn Energi Expo, Selasa (26/9).

Lebih lanjut ia menjelaskan, keinginan Kemenkeu ini akan disampaikan kepada pelaku usaha melalui Kementerian ESDM di dalam rapat yang akan dihelat pekan ini.
Menurut dia, pengenaan indirect tax di masa eksploitasi ini sangat masuk akal, mengingat semua proyek hulu migas pasti akan memasuki masa-masa keemasan produksi.

“Di dalam masa emas ini kami harap mereka (pelaku usaha hulu migas) bayar PPN dan PBB juga,” imbuhnya.

Tak hanya pajak eksploitasi, permasalahan pajak Gross Split juga sempat terganjal dengan skema perpajakan di masa eksplorasi. Pelaku usaha disebut masih mengeluh soal keekonomian lapangan migas karena pemerintah tidak lagi memberlakukan sistem pengembalian biaya eksplorasi (reimbursement) jika nantinya lapangan migas sudah memproduksi minyak.
Hal ini lantaran skema Cost Recovery sudah tidak diberlakukan di dalam rezim PSC Gross Split.

Tak hanya itu, permasalahan juga terjadi di dalam kompensasi kerugian pajak (tax loss carry forward). Sebagai gambaran, kontraktor migas tentu akan merugi di masa eksplorasi karena belum ada produksi. Karenanya, PPh tidak bisa dibebankan ke badan usaha, sehingga pajak itu harus dikompensasi di tahun berikutnya.

Namun, pasal 6 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan menyebut, tax loss carry forward hanya berlaku selama lima tahun saja. Setelah itu, badan usaha wajib mengompensasi kerugian PPh. Hal itu, lanjutnya, kurang mengakomodasi sektor hulu migas, mengingat masa eksplorasi pasti akan lebih lama dari lima tahun.

Beruntung, menurut Mardiasmo, permasalahan ini sudah menemui titik terang. Pasalnya, pelaku usaha dan pemerintah sudah sepakat bahwa seluruh biaya operasional akan diakumulasi dan kemudian akan menjadi komponen pengurang PPh jika nantinya proyek hulu migas sudah berproduksi.

“Ini bukan cost recovery, tapi bisa jadi tax deducted pada saat proyek migas sudah beroperasi, sudah menghasilkan, dan sudah ada keekonomiannya,” jelasnya.

Sementara itu, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar berharap, masalah pajak Gross Split ini segera selesai agar pelaku usaha hulu migas mau ikut lelang 15 Wilayah Kerja (WK) yang dihelat tahun ini. Gara-gara perpajakan Gross Split belum jadi, ESDM mengundurkan batas akses dokumen lelang WK migas.

Tadinya, batas akses dokumen lelang memiliki tenggat waktu 9 Agustus lalu. Namun, diundur menjadi 11 September lalu. Sebab, beleid ini belum rampung. Walhasil, batas pengembalian dokumen lelang diubah lagi ke tanggal 27 November mendatang.

“Terpaksa kami tunda bid round. Memang, saya kejar terus Wakil Menteri Keuangan. Karena apa? Karena kalau lelang migas ini tidak sukses, kinerja Kementerian ESDM jadi dianggap tak baik,” pungkasnya.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER