Jakarta, CNN Indonesia -- Sejumlah institusi keuangan merevisi proyeksi indikator makroekonomi sampai akhir 2017, seiring perubahan kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia pada pertengahan tahun ini.
PT Manulife Asset Management merevisi proyeksi inflasi sampai akhir 2017 menjadi lebih rendah di level 3,8-4,3 persen, dari perkiraan semula 4-4,8 persen. Suku bunga acuan dipatok pada level 4,25 persen dari proyeksi semula 4,75-5 persen.
Namun, nilai tukar rupiah diprediksi lebih lemah yakni Rp13.200-Rp13.500 dari perkiraan sebelumnya Rp13.200-Rp13.000. Sedangkan pertumbuhan ekonomi tetap diproyeksi pada level 5-5,3 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya, PT Bahana Sekuritas juga merevisi proyeksi inflasi dari 4,4 persen menjadi lebih rendah ke level 4 persen pada akhir 2017, di picu penurunan level suku bunga acuan Bank Indonesia secara berturut hingga 75 basispoin sampai pertengahan tahun ini.
Chief Economist and Investment Strategist PT Manulife Asset Management Katarina Setiawan menjelaskan pertumbuhan ekonomi riil pada paruh pertama 2017 hanya tumbuh tipis.
"Lemahnya belanja pemerintah yang rendah dan berkurangnya subsidi yang mempengaruhi daya beli dan perilaku konsumsi masyarakat," ujar Katarina dalam hasil riset Manulife Asset Management yang diterbitkan Kamis(5/10).
Produk domestik bruto (PDB) kuartal pertama 2017 tercatat tumbuh 5,01 persen, lebih rendah dari ekspektasi konsensus. Penyebab utamanya adalah penurunan belanja -1,9 persen YoY, sedangkan investasi naik 5,35 persen.
Pada kuartal III, pemerintah berkomitmen meningkatkan belanja negara dan tak lagi menaikkan harga energi sepanjang sisa 2017. Kendati peningkatan belanja akan membuat defisit fiskal melebar lebih dari 2,5 persen, upaya eksekutif bisa diterima karena keuangan negara yang relatif sehat dengan rasio utang rendah.
Pertumbuhan ekonomi ditopang pula oleh stabilitas nilai tukar rupiah dan inflasi yang terkendali. Terlebih, Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan guna mendorong laju roda ekonomi.
Dari sisi anggaran, rencana pemerintah menaikkan belanja dan kombinasi upaya lain dengan Bank Indonesia dari sisi fiskal dan moneter pada paruh kedua diperkirakan akan membuahkan hasil.
Pada Agustus lalu, Presiden Joko Widodo membentuk Tim Pengendalian Inflasi Nasional dan mendorong koordinasi dan sinkronisasi antara Bank Indonesia, kementerian terkait, dan kepolisian untuk mengendalikan inflasi bersama.
Manulife memperkirakan kebijakan itu menyebabkan inflasi tetap terkendali. Hal itu juga menjadi salah satu alasan BI melakukan dua kali pemangkasan suku bunga acuan.
Pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi saat ini merupakan faktor sentimen sementara dari kondisi global, tepatnya dampak rancangan reformasi perpajakan Amerika Serikat.
Namun secara fundamental, nilai tukar rupiah akan menguat dalam jangka panjang, ditopang neraca perdagangan yang baik, cadangan devisa yang kuat serta inflasi rendah.
Neraca perdagangan memang sempat mencatatkan defisit pada Juli 2017, namun kondisi kembali berbalik dengan lonjakan surplus tertinggi sejak November 2011 yakni sebesar US$1,72 miliar pada Agustus 2017.
Kabar baik datang dari peningkatan impor barang modal dan barang baku yang menjadi indikator positif bagi kegiatan manufaktur dan ekonomi di masa mendatang.
Dalam pemberitaan sebelumnya, Kepala Riset dan Strategi Bahana Sekuritas Henry Wibowo menyebutkan, pihaknya juga merevisi estimasi inflasi 2018 dari semula 4 persen menjadi 3,8 persen.
Selain tingkat suku bunga acuan, revisi perkiraan inflasi itu juga memperhitungkan pemberlakuan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi secara merata di Indonesia pada 2017.