Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Keuangan masih akan berupaya ekstra demi menggenjot penerimaan pajak di sisa dua bulan terakhir 2017, salah satunya dengan melakukan pemeriksaan dan penagihan pajak yang lebih insentif.
Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) Angin Prayitno Aji mengatakan, ruang gerak pemeriksaan DJP semakin leluasa setelah terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2017.
Menurut beleid tersebut, pemerintah akan menerapkan pajak bagi harta yang belum dilaporkan Wajib Pajak dalam program pengampunan pajak (tax amnesty).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masih berdasarkan peraturan yang sama, pajak akan dibebankan terhadap harta tambahan yang berada di dalam maupun luar negeri yang tidak diikutsertakan dalam Surat Pernyataan Harta, dan tercatat dimiliki WP sejak 1 Januari 1985 hingga 31 Desember 2015.
Jika WP memiliki penghasilan bruto dari pekerjaan bebas hingga Rp4,8 miliar, penghasilan bruto selain pekerjaan bebas sebesar Rp632 juta, dan jika total keduanya paling besar Rp4,8 miliar, maka akan diberikan tarif 12,5 persen. Sementara itu, WP badan dan Wajib Pajak Orang Pribadi masing-masing dikenakan tarif 25 persen dan 30 persen.
“Kami akan terus jalankan pemeriksaan dan penagihan sesuai dengan koridor yakni PP Nomor 36 Tahun 2017. Kami prioritaskan (pemeriksaan) yang tidak ikut tax amnesty, dan ke peserta tax amnesty (jika ada harta yang belum dilaporkan),” jelas Angin di Kementerian Keuangan, Jumat (10/11).
Meski demikian, ia mengaku tidak ingat jumlah WP yang masuk radar pemeriksaan DJP. Namun, ia berharap aktivitas ini bisa membantu penerimaan pajak dalam mencapai target hingga akhir tahun.
Sekadar informasi, realisasi penerimaan pajak hingga Oktober tercatat baru mencapai Rp869,6 triliun atau 67,7 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Penyesuaian (APBNP) 2017 sebesar Rp1.238,6 triliun.
“Khusus dari aktivitas pemeriksaan, sekarang realisasi penerimaannya sudah mencapai 70 persen dari target Rp59 triliun. Penagihan juga jalan terus,” imbuhnya.
Jika pemeriksaan ini mengarah ke ketidakpatuhan dan menimbulkan indikasi pidana, DJP bisa melayangkan bukti permulaan (buper) pajak kepada WP bersangkutan.
Sebagai informasi,, buper merupakan bukti yang memberikan petunjuk adanya dugaan tindak pidana di bidang perpajakan yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Direktur Penegakan Hukum DJP Yuli kristiono menjelaskan, potensi buper ini tetap bisa dilakukan kepada peserta tax amnesty jika ada tindakan WP yang mengarah ke tindakan pidana di dalam tahun pajak 2016. Sebab, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2016, ambang batas Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT PPh) yang bisa dilaporkan dalam program tax amnesty maksimal memiliki tahun buku 2015.
“Namun buper ini bisa terhenti dengan tiga cara. yakni tidak ada bukti pidana, ada indikasi tetapi WP langsung bayar, dan jika paparan gelar perkara naik ke penyidikan,” pungkasnya.
(lav)