Jakarta, CNN Indonesia -- Pelemahan daya beli masyarakat yang tercermin dari melambatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga terus membayangi dunia usaha. Apalagi, pemerintah berniat menaikkan upah minimum regional (UMR) dalam waktu dekat. Alih-alih, daya beli membaik, kenaikan UMR justru semakin membebani dunia usaha.
Namun, setelah menyampaikan unek-uneknya di berbagai kesempatan, akhirnya pelaku usaha angkat suara juga dengan mengusulkan penghapusan sementara Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Setelah bertemu dengan Presiden Joko Widodo, Ketua Kadin Indonesia Rosan Roeslani mengungkapkan, saat ini masyarakat masih memiliki pendapatan. Namun, mereka tidak terdorong untuk berbelanja. Makanya, stimulus agar masyarakat mengucurkan uangnya sangat dibutuhkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Kami usulkan terobosan, seperti belanja dalam sepekan tidak dikenakan PPN supaya orang spending (belanja). Karena orang ada duit, tapi tidak mau spending. Duitnya banyak di bank, tapi tidak investasi,” ujarnya belum lama ini.
Permintaan Kadin itu bersifat dilematis. Sebab, dengan target penerimaan pajak yang cukup tinggi, pemerintah tentu tak mau kehilangan potensi pendapatan sepeser pun. Apalagi, realisasi penerimaan pajak terbilang seret mendekati akhir tahun.
Hingga Oktober 2017, penerimaan pajak baru mencapai Rp869,6 triliun atau 67,7 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2017 sebesar Rp1.238,6 triliun.
Terlebih, target PPN dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) juga terbilang besar, yakni Rp475,48 triliun atau 38,38 persen. Dengan peranan PPN yang krusial itu, sudah pasti kebijakan itu akan memengaruhi penerimaan negara.
Lantas, apakah PPN memang jadi biang keladi hasrat konsumsi masyarakat?
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta bilang, tentu saja PPN bukan akar masalah utama pelemahan daya beli. Permintaan untuk membebaskan PPN dalam waktu singkat hanya dianggap sebagai stimulus untuk memicu konsumsi masyarakat.
Dengan mengurangi 10 persen dari total belanja, lanjutnya, ini bisa membuat masyarakat terpengaruh secara psikologis untuk konsumsi. Namun, untuk mendorong pengeluaran rumah tangga, tentu saja dibutuhkan kebijakan lain yang berjangka panjang.
“Kalau memang dijadikan kebijakan, (penghapusan PPN) ini akan sangat senang kami terima. Namun, untuk jangka panjang, tentu saja perlu ada hal lain yang dilakukan,” imbuhnya sembari menyarankan bahwa kebijakan pembebasan PPN yang optimal bisa dilakukan dalam rentang enam bulan.
Menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara, pembebasan PPN sementara kemungkinan hanya akan berdampak di beberapa sektor tertentu. Untuk sektor ritel, contohnya mungkin pembebasan PPN bermanfaat paling tidak demi mencegah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Kendati demikian, yang menjadi keluhan masyarakat selama ini bukanlah PPN, namun kekhawatiran mengenai pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) yang terlalu agresif. Ini bukan hal yang mustahil, mengingat orang banyak menyimpan uangnya di bank dan enggan membelanjakan uangnya.
Sehingga, menurut dia, perbaikan daya beli memang bisa ditopang oleh insentif pajak. Hanya saja, ia memberi catatan, hal itu perlu dibarengi dengan kebijakan lain yang bisa meningkatkan daya beli, seperti pelaksanaan bantuan sosial.
 Penghapusan sementara PPN dimaksudkan untuk merangsang daya beli masyarakat agar membelanjakan uangnya ketimbang menumpuknya di bank. (CNN Indonesia/Elise Dwi Ratnasari). |
“Kemudian, soal daya beli kelas menengah problemnya ada di sisi pendapatan yang tergerus inflasi. Di sini bukan masalah pajak, tapi masalah pengendalian inflasi khususnya tarif listrik dan perbaikan kinerja ekonomi secara umum,” jelasnya.
Jika kebijakan penghapusan PPN ini akan diberlakukan, maka implementasinya harus diawasi betul. Jangan sampai potensi kehilangan pendapatan negara malah dibayar dengan pertumbuhan konsumsi yang tidak signifikan. Apalagi, jika kebijakan ini dipaksakan, bisa-bisa defisit APBN makin melebar dari target.
Makanya, Bhima meelanjutkan, pemerintah bisa menyusun kriteria usaha yang mendapatkan keringanan pajak. Selain itu, evaluasi penghapusan PPN ini seharusnya tak hanya mengukur daya beli, namun juga ke pertumbuhan sektoral dan penciptaan lapangan kerja.
“Setidaknya, untuk efektif pemberlakuannya minimal tiga hingga lima bulan. Baru akan dievaluasi dampaknya. Nah, waktu sepanjang itu, meskipun temporer apakah pemerintah siap mencari sumber pajak lainnya?” katanya bertanya.
Meski menuai keraguan, pemerintah berjanji mempertimbangkan kebijakan tersebut. Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Pajak Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Yon Arsal mengatakan, pemerintah terbuka untuk mempertimbangkan kebijakan ini.
Pun demikian, kebijakan ini masih perlu dikaji ulang, apakah PPN memang menjadi disinsentif daya beli masyarakat. “Misalnya, kalau air mineral, tidak dikasih PPN apakah kemudian jadi laku. Menurut kami, kebijakan ini layak dipertimbangkan, namun tidak buru-buru,” paparnya.
Sementara itu, masyarakat sepertinya punya suara tersendiri mengenai usulan Kadin tersebut. Taufan Tampubolon (27), contohnya. Pegawai swasta ini mengaku daya belinya tak terpengaruh jika kebijakan pembebasan PPN temporer benar-benar akan dilakukan.
Tetapi, pengenaan PPN bisa saja memengaruhi minat konsumsinya jika harga barang atau jasa ternilai cukup tinggi. Contoh, pengenaan PPN tak terlalu memberatkan jika ia membeli makanan di restoran cepat saji seharga Rp50 ribu per porsi. Tapi, pengenaan PPN 10 persen akan sangat terasa jika ia makan di restoran dengan nilai transaksi Rp500 ribu.
“Makanya, pengenaan PPN ini sifatnya situasional bagi saya. Namun, ada baiknya PPN jangan dibebaskan, karena saya baca di berita kalau penerimaan pajak kan agak seret. Sedangkan, pemerintah sekarang sedang butuh uang untuk bangun-bangun proyek,” ungkapnya.
(bir)