Jakarta, CNN Indonesia -- Rupiah diperkirakan menembus angka Rp13.800 per dolar Amerika Serikat (AS) pada 2018, atau lebih rendah 2,9 persen dibandingkan asumsi makro dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) 2018 yang sebesar Rp13.400 per dolar AS.
Ekonom DBS Group Research Gundy Cahyadi menilai, pelemahan rupiah terjadi karena posisi dolar AS memang menguat terhadap seluruh mata uang regional. Depresiasi bukan terjadi karena fundamental ekonomi Indonesia yang tidak baik atau prediksi situasi politik yang memanas pada 2018.
"Ini semata-mata karena nilai dolar AS akan menguat terhadap semua mata uang," jelas Gundy saat Diskusi Panel DBS Asian Insight Conference 2017 di Jakarta, Selasa (21/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Awal 2017, beberapa mata uang memang sempat menguat terhadap dolar AS karena sentimen negatif yang muncul dari peristiwa pelantikan Donal Trump sebagai Presiden Amerika Serikat. Namun perbaikan indikator makro ekonomi AS dinilai akan kembali melemahkan nilai tukar mata uang regional, termasuk euro dan yen, pada 2018.
"Kami melihat bahwa tahun 2018 akan terjadi trading places, awal tahun depan dolar AS akan menguat dan euro akan melemah," jelas Gundy.
Sementara itu, ekonom Chatib Basri menilai penguatan dolar AS akan terus terjadi apabila AS berhasil memangkas pajak tahun depan. Sebab pemangkasan pajak bisa berimbas pada defisit anggaran AS dan berpotensi meningkatkan suku bunga acuan AS.
"Bank Sentral Eropa kelihatannya juga akan mengakhiri
quantitative easing (pelonggaran moneter) pada 2017," terang Chatib Basri.
Berdasarkan Kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), nilai tukar terhadap dolar melemah sebesar 1,25 persen sepanjang kuartal III 2017.
(lav)