Jakarta, CNN Indonesia -- Erupsi Gunung Agung di Kabupaten Karangasem, Bali, berpotensi menggerus bisnis di Pulau Dewata, terutama di sektor-sektor yang terkait dengan pariwisata dan restoran.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani mengungkapkan, rata-rata pembatalan reservasi hotel di Provinsi Bali meningkat mencapai 20 persen pasca terjadinya letusan Gunung Agung sejak pekan lalu.
Sebenarnya, lanjut Rosan, pembatalan sudah terjadi sejak dua bulan terakhir saat Gunung Agung mulai memunculkan aktivitas gempa dan diberi status siaga level tiga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya bicara dengan general manager (hotel di Bali), pembatalan atau cancel meningkat 20 persen. Sebenarnya ini sudah sejak beberapa bulan terakhir, bukan karena meledak saja," ujar Rosan di Hotel Borobudur, Senin (27/11).
Adapun pembatalan ini terjadi pada seluruh kelas hotel, terutama yang berbintang empat dan lima. Sebab, biasanya hotel berbintang tersebut telah lebih dulu direservasi oleh masyarakat.
Bahkan, menurutnya, tak hanya berdampak pada hotel di Bali, namun juga memberi dampak pada sektor perhotelan di sekitarnya, misalnya Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Sebab, sejak meletus pada pekan lalu, arah abu vulkanik mengarah ke timur tenggara, sehingga membuat wisatawan juga enggan berkunjung ke Lombok, apalagi melakukan reservasi hotel.
"Bukan hanya Bali, ternyata Lombok dan Labuan Bajo juga. Karena teman saya mau ke sana, siang sudah tidak bisa ternyata," katanya.
Sayangnya, Rosan belum bisa mengestimasi perkiraan kerugian yang dialami para pengusaha sektor perhotelan dari bencana alam ini di Kabupaten Karangasem ini.
Berdasarkan kalkulasi sederhana, bila ada pembatalan sekitar 20 persen, tentu penerimaan dari 20 persen itu gagal masuk kantong pihak hotel. Namun, dampaknya bisa lebih parah bila pengunjung yang biasanya melakukan reservasi langsung juga terus berkurang.
Kendati demikian, Rosan meminta pemerintah dan masyarakat terus bersinergi untuk menyelesaikan bencana alam ini, sehingga berbagai kerugian yang ditimbulkan dapat terus diminimalisir.
"Tentu ada dampaknya ke pariwisata, tapi ini kan alam, tidak bisa dilawan. Yang penting ini bisa diantisipasi, dilakukan sosialisasi dengan baik oleh pemerintah juga untuk penangannnya," jelasnya.
Senada dengan Rosan, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Haryadi Sukamdani tak memungkiri erupsi Gunung Agung berimbas negatif pada bisnis di sektor pariwisata, mulai dari penerbangan, perhotelan, hingga restoran. Namun, pihaknya juga belum menghitung berapa total kerugian dari aktivitas Gunung Agung karena masih menanti data dari pelaku usaha di Bali.
"Kami belum tahu persis berapa kerugiannya. Bandara kan masih buka tutup dan dari tingkat keterisian hotel kami belum mendapatkan laporan menyeluruh," ujar pria yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) ini.
Untungnya, erupsi kali ini terjadi di bulan November, di mana rata-rata tingkat okupansi normal hotel di Bali belum terlalu padat yaitu hanya berkisar 60 persen. Hal ini memudahkan dalam manajemen krisis. Dengan kejadian ini, lanjut Hariyadi, okupansi diperkirakan turun menjadi di bawah 50 persen.
Saat ini, lanjut Hariyadi, persepsi penduduk dan wisatawan sudah lebih baik dan tidak menunjukkan kepanikan berlebihan. Hal itu tak lepas dari kesiapan pemerintah dan pihak swasta dalam mengendalikan informasi dan meredakan kekhawatiran.
Guna mengantisipasi penurunan okupansi, pihak hotel di Bali juga banyak memberikan insentif promosi kepada tamunya. Misalnya, pihak hotel memberikan promo gratis bermalam bagi tamu yang tertahan karena bandara ditutup, ataupun diskon tarif menginap selama periode tersebut.
(lav)