Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Indonesia (BI) kembali menahan suku bunga acuan BI-7 Days Reverse Repo Rate (BI-7DRRR) di level 4,25 persen untuk Desember ini. Suku bunga simpanan
(deposit ficility) dan suku bunga pinjaman
(lending facility) BI masing-masing juga tetap di level 3,5 persen dan 5 persen.
"Rapat Dewan Gubernur BI memutuskan untuk mempertahankan BI 7DRR Rate tetap sebesar 4,25 persen, berlaku efektif sejak 15 Desember 2017," ujar Asisten Gubernur merangkap Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Dody Budi Waluyo usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulanan BI di Jakarta, Kamis (14/12).
Dody mengungkapkan, keputusan BI tersebut dianggap masih konsisten dengan upaya menjaga stabilitas makroekonomi dan stabilitas sistem keuangan, serta mendorong laju pemulihan ekonomi dengan tetap mempertimbangkan dinamika perekonomian global maupun domestik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) telah diprediksi sebelumnya. Kemarin, waktu setempat, Rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) AS memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuannya (FFR) sebesar 25 basis poin ke kisaran 1,25-1,5 persen, karena ekonomi AS dianggap terus membaik.
Secara umum, Dody menekankan fundamental perekonomian domestik masih terjaga baik. Hal itu tercermin dari angka pertumbuhan ekonomi kuartal III di level 5,06 persen dan diperkirakan sepanjang tahun ini ada di kisaran 5,1 persen. Namun, sektor konsumsi masih perlu dicermati karena pertumbuhannya melambat di tengah peralihan pola konsumsi ke
leisure. Tahun depan, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia bakal lebih kencang di kisaran 5,1 - 5,5 persen.
Pertumbuhan ekonomi juga diiringi dengan terkendalinya tingkat inflasi, terbukti pada November lalu inflasi hanya 0,2 persen secara bulanan dan 3,3 persen secara tahunan. Bank sentral meyakini inflasi tahun ini masih akan sesuai dengan target BI di level empat plus minus satu persen.
Pada Oktober 2017, surplus neraca perdagangan secara kumulatif dari awal tahun tercatat sebesar US$ 11,78 miliar, lebih besar dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya US$ 7,65 miliar.
Posisi cadangan devisa pada akhir November 2017 tercatat US$ 126,97 miliar. Cadangan devisa tersebut cukup untuk membiayai 8,4 bulan impor atau 8,1 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Nilai tukar rupiah relatif stabil meskipun Oktober lalu sempat tertekan akibat normalisasi kebijakan moneter AS. Kurs rupiah tercatat menguat 0,27 persen secara bulanan di November 2017 ke level Rp13.526 per dollar AS.
Di sektor keuangan, stabilitasnya juga masih terjaga di tengah penyaluran kredit yang masih terbatas. Pertumbuhan kredit Oktober 2017 tercatat 8,16 persen (yoy), membaik dari bulan sebelumnya 7,86 persen (yoy). Sementara itu, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada Oktober 2017 tercatat 11 persen (yoy), meningkat dibandingkan bulan sebelumnya 11,7 persen (yoy).
Untuk keseluruhan tahun 2017, DPK diperkirakan tumbuh sekitar 9 persen dan kredit tumbuh lebih rendah dari perkiraan semula yaitu menjadi sekitar 8 persen. Sementara tahun depan, DPK dan kredit diprediksi masing-masing berkisar 9-11 persen dan 10-12 persen.
Di sisi eksternal, penguatan ekonomi global juga terus berlanjut. Perekonomian AS, Eropa, dan China tercatat membaik. Terlebih, harga komoditas juga merangkak naik. Hal itu akan berdampak positif pada permintaan ekspor.
Namun demikian, BI menilai risiko eksternal masih membayangi. Risiko tersebut berasal dari normalisasi kebijakan moneter negara maju dan situasi geopolitik di sejumlah negara.
Keputusan BI sesuai dengan prediksi sejumlah ekonom. Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede mengungkapkan, BI akan menahan suku bunga acuannya dengan melihat perkembangan nilai tukar rupiah di pasaran
"BI akan tetap fokus dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah jelang pengetatan kebijakan moneter bank sentral AS dan bank sentral negara-negara maju," terangnya.
Josua mengungkapkan, rupiah dalam sebulan terakhir cenderung melemah. Hal itu dipengaruhi oleh penguatan dolar AS terhadap mata uang utama.
Sekalipun pasar sudah memperhitungkan kenaikan suku bunga AS, pelaku pasar masih mencermati sinyak yang disampaikan The Fed setelah rapat FOMC, khususnya terkait proyeksi ekonomi AS serta arah kebijakan suku bunga AS pada tahun depan.
Jika ada ekspektasi bahwa The Fed bakal agresif dalam menaikkan suku bunga tahun depan, maka penguatan dolar AS bakal terus berlanjut.
Secara umum, Josua menilai level suku bunga kebijakan saat ini masih konsisten dengan target sasaran inflasi serta upaya menjaga stabilitas rupiah.
Senada dengan Josua, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira juga menilai BI bakal kembali menahan suku bunga acuannya.
Menurut Bhima, jika BI-7DRRR dikerek imbas ke suku bunga kredit bakal negatif. Padahal, pertumbuhan kredit tahun ini masih belum sesuai ekspetasi.
"Pertumbuhan kredit masih rendah di 7,9 persen per September," ujarnya.
(agi)