Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah menerbitkan aturan perpajakan terkait penerapan pajak di dalam kontrak bagi hasil produksi dengan skema bagi hasil produksi kotor (gross split).
Aturan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2017 mengenai Perlakuan Perpajakan pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dan Kontrak Bagi Hasil Gross Split yang diteken Presiden Joko Widodo.
"
Alhamdullilah, dua hari lalu (Rabu, 27 Desember), PP 53/2017 sudah ditandatangani," ujar Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) Arcandra Tahar di kantornya, Jumat (29/12).
Aturan ini memberikan kepastian investasi di sektor hulu minyak dan gas (migas). Sebelumnya, Kementerian ESDM telah beberapa kali memundurkan batas pengumpulan dokumen lelang wilayah kerja (WK) minyak dan gas (migas) lantaran belum terbitnya PP tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam beleid tersebut, pemerintah memberikan tujuh insentif fiskal. Pertama, pemerintah memberikan fasilitas bea masuk impor atas barang operasi migas.
Kemudian, pemerintah juga tidak memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) atas perolehan dan pemanfaatan barang dan jasa operasi migas. Selanjutnya, pemerintah juga tidak memungut Pajak Penghasilan (PPh) 22 atas impor barang operasi migas.
Pemerintah juga memberikan pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 100 persen. Pemanfaatan aset bersama migas, bebas PPN. Pembebasan PPN juga diberikan untuk biaya tidak langsung kantor pusat.
Selain itu, Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) bisa diberikan waktu kompensasi kerugian pajak (
tax loss carry forward) yang diperpanjang dari lima tahun menjadi 10 tahun.
Sebagai catatan, kontraktor migas tentu akan mengalami kerugian di masa eksplorasi karena belum ada produksi. Karenanya, PPh tidak bisa dibebankan ke badan usaha, sehingga pajak itu harus dikompensasi di tahun-tahun berikutnya.
(bir)