Jakarta, CNN Indonesia -- Lonjakan harga minyak dunia kembali terjadi pada perdagangan Rabu (10/1), waktu Amerika Serikat (AS). Hal itu dipicu oleh turunnya persediaan dan produksi minyak mentah Negeri Paman Sam, meskipun persediaan bahan bakar minyak (BBM) menunjukkan peningkatan.
Dilansir dari
Reuters, Kamis (11/1), harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediaries (WTI) naik US$0,61 atau 1 persen menjadi US$63,57 per barel, tertinggi sejak Desember 2014. Di awal sesi perdagangan sempat harga sempat menyentuh level US$63,67 per barel, tertinggi sejak 9 Desember 2014.
Kenaikan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka Brent yang ditutup meningkat US$0,38 menjadi US$69,2 per barel. Selama sesi perdagangan, harga Brent sempat menyentuh level US$69,37 per barel, tertinggi sejak Mei 2015.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan data Badan Administrasi Informasi Energi AS (EIA), persediaan minyak mentah AS turun sebeser 4,9 juta barel pekan lalu, di atas proyeksi analis yang memperkirakan sebesar 3,9 juta barel.
Namun, realisasi kenaikan persediaan yang melampaui proyeksi yang terjadi pada bensin dan BBM mampu mengimbangi penurunan persediaan minyak mentah.
Pasar sedikit terdongkrak oleh data penurunan produksi minyak yang tajam pekan lalu. Analis memperkirakan penurunan produksi terjadi akibat suhu dingin ekstrem di seluruh wilayah AS.
"Rendahnya penarikan persediaan minyak mentah diiringi kenaikan stok produksi membuat harga bakal turun [bearish]. Namun, turunnya produksi secara tajam dapat menjadi alasan bagi pelaku pasar untuk membeli," ujar Analis Perminyakan Commerzbank AG Carsten Fritsch di Frankfurt, Jerman.
Harga minyak telah melonjak lebih dari 13 persen sejak awal Desember 2017, dan ada indikasi pasar terlalu panas (overheating). Analis mengingatkan bahwa pasar tidak terlalu menaruh perhatian pada kenaikan produksi minyak mentah AS.
Reli pasar global, termasuk di sektor saham, telah memicu investasi di kontrak minyak berjangka. Selain itu, hal itu juga dipicu oleh penurunan kurs dolar AS karena aksi jual pasca dirilisnya laporan bahwa China siap untuk mengurangi atau menghentikan pembelian surat berharga pemerintah AS.
Pelemahan nilai tukar dolar AS secara umum bakal mendongkrak harga minyak mengingat harga minyak menggunakan kurs dolar AS.
Reli harga minyak menimbulkan kekhawatiran bahwa pasar mungkin dalam kondisi terlalu panas, khususnya seiring proyeksi kenaikan produksi minyak AS yang bakal mencetak rekor.
Selasa lalu, EIA mendongkrak ekspektasi terhadap produksi minyak mentah AS dengan pernyataan bahwa produksi minyak mentah AS bisa menembus 11 juta barel per hari (bph) pada 2019.
Produksi minyak mentah AS diperkirakan bakal menembus level 10 juta bph bulan depan, di belakang produksi Arab Saudi dan Rusia.
Negara anggota Organisasi Negara Pengekspor Minyak Dunia (OPEC) khawatir kenaikan harga yang terjadi saat ini dapat mendorong perusahaan minyak shale AS membanjiri pasar.
Sebagai catatan, OPEC bersama dengan produsen minyak non-OPEC, termasuk Rusia, telah memperpanjang kesepakatan pemangkasa produksi sebesar 1,8 juta bph hingga akhir tahun ini.
(gir)