Jakarta, CNN Indonesia -- Kredibilitas Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik yang kurang mumpuni dalam menyediakan data produksi beras disebut menjadi salah satu penyebab kelangkaan sekaligus melonjaknya harga beras di pasaran.
Hal itu disampaikan Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha Muhammad Syarkawi Rauf dalam keterangan tertulisnya menanggapi kenaikan harga dan ketidakstabilan pasokan beras yang terjadi belakangan ini.
"Rendahnya kredibilitas data produksi beras yang dipublikasikan Oleh bps dan Kementan (jadi salah satu penyebab permasalahan pasokan beras)," sebutnya, Minggu (14/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain data produksi beras, penyebab lain dinilai berasal dari tingginya disparitas harga beras internasional dibandingkan dengan harga beras dalam negeri memberikan dorongan untuk melakukan impor.
Menurut data Organisasi Makanan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-bangsa (Food and Agriculture Organization/FAO) Pada 2017, harga beras Vietnam sekitar US$0,31 per kilogram (kg) atau setara dengan Rp 4.100 per kg (Kurs rupiah per dolar AS sebesar Rp13.225) dan Thailand harganya sekitar US$0,34 per kg atau setara dengan Rp4.496 per kg). Sementara harga beras di Dalam negeri sekitar US$0,79 per kg atau sekitar Rp10.447 per kg secara rata-rata.
Tak hanya disparitas harga, dia juga menilai penyebab lain masalah ketersediaan bahan pokok itu ialah sistem distribusi beras yang buruk karena terlalu panjang sehingga rawan aksi spekulasi.
"Peran Bulog yang belum optimal menopang pasokan beras nasional melalui operasi pasar beras," ungkapnya.
Menanggapi persoalan tersebut, Syarkawi memaparkan beberapa solusi, baik untuk jangka pendek, menengah, maupun panjang, yang dapat dilakukan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan beras bagi masyarakat.
"Pemerintah perlu segera melakukan audit data produksi beras di BPS dan Kementerian Pertanian bersama-sama perguruan tinggi sehingga tidak terus menerus menjadi sumber perdebatan," tegasnya.
Pemerintah juga perlu segera meningkatkan efisiensi kegiatan pertanian, baik tanam, panen dan paska panen di Hulu. Selain itu, memperbaiki tata niaga beras sehingga adil bagi petani, pedagang dan konsumen.
Hal tak kalah penting, pemerinah harus melakukan penyederhanaan rantai distribusi secara cepat melalui implementasi koorporatisasi petani dengan mengintegrasikan usaha pertanian dari hulu ke hilir.
"Langkah ini menjadi tanggung jawab Kementerian Perdagangan dan Bulog," sebut Syarkawi.
Menurut dia, pemerintah perlu mengadopsi sistem pemasaran online dalam pemasaran beras sehingga petani bisa secara langsung menjual berasnya ke konsumen akhir atau peritel tanpa melalui jalur pemasaran yang panjang.
Pengembangan Pasar Induk Beras Nasional di Sentra-Sentra produksi beras nasional juga menjadi hal penting yang perlu dilakukan. Lokasi sentra yang dimaksud seperti di Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jakarta - Jawa Barat, dan Sumatra Utara.
"Pasar Induk diharapkan dapat menjadi sumber referensi ketersediaan atau pasokan dan harga beras nasional. Langkah ini menjadi tanggung jawab Bulog dan Kemendag ," katanya.
Bulog harus berperan mengoptimalisasi program operasi pasar melalui peningkatan penyerapan beras petani.
Terakhir, KPPU dan kepolisian bertanggung jawab melakukan penegakan hukum terhadap spekulan yang sengaja mempermainkan pasokan dan harga.
(lav)