Jakarta, CNN Indonesia -- Harga minyak dunia melemah pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu, sejalan dengan meningkatnya kekhawatiran pelaku pasar terhadap kenaikan produksi minyak Amerika Serikat (AS).
Mengutip Reuters, Senin (22/1), harga minyak mentah berjangka Brent melorot US$0,7 atau satu persen menjadi US$68,61 persen setelah menyentuh titik terendahnya, yaitu US$68,28 per barel. Padahal, harga minyak sempat mencapai level tertingginya persis Desember 2014 silam, yakni US$70,37 per barel pada Senin pekan sebelumnya.
Tekanan harga juga terjadi pada minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediaris (WTI) sebesar US$0,58 atau 0,9 persen. Harga WTI menyentuh level tertingginya pada perdagangan Selasa pekan lalu, yakni US$6,89 per barel.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Secara mingguan, harga Brent ditutup 1,8 persen lebih rendah dibandingkan pekan lalu. Kondisi yang sama juga terjadi pada harga WTI yang ditutup melorot 1,5 persen
.
"Kami (pasar) mendapatkan kenaikan harga yang melesat bagai meteor pada pasar minyak akhir-akhir ini dan sedikit kelebihan membeli. Ini untuk pertama kalinya kami menarik nafas," ujar analis Price Futures Group Phil Flynn di Chicago.
Laporan bulanan Badan Energi International (EIA) menyatakan stok minyak global secara substansi mengetat. Hal itu terjadi lantaran pemangkasan produksi oleh Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC), pertumbuhan permintaan, serta produksi Venezuela yang mencapai titik terendahnya dalam 30 tahun terakhir.
Selain itu, melesatnya produksi minyak negeri Paman Sam juga bisa mengancam keseimbangan pasar. "Ledakan pertumbuhan minyak di AS dan kenaikan produksi di Kanada dan Brazil bisa jauh melebihi potensi penurunan tajam pada produksi di Venezuela dan Mexico," terang EIA.
Selanjutnya, EIA juga meramal pertumbuhan produksi minyak AS dapat melonjak hingga melampaui level 10 juta barel per hari (bph) atau menyalip Arab Saudi dan melawan Rusia.
Berdasarkan data pemerintah AS, produksi minyak mentah AS pada minggu kedua Januari naik hampir 300 ribu bph menjadi 9,75 juta bph.
Sementara, berdasarkan data perusahaan layanan energi Baker Hughes, jumlah rig minyak yang menjadi indikator produksi mada depan, turun lima sepanjang pekan lalu menjadi 747 rig.
Namun, jumlah tersebut masih jauh lebih tinggi dibandingkan jumlah rig tahun lalu yang hanya berjumlah 551 rig.
"Penurunan pada jumlah rig seharusnya menimbulkan sedikit keraguan pada proyeksi ledakan produksi yang dibuat EIA. Orang mulai mempertanyakan validitas permintaan," imbuh Flynn.
Secara umum, harga minyak tetap ditopang dengan baik dan kebanyakan analis tidak memprediksi akan terjadi penurunan tajam.
Komisi Perdagangan Komoditas Berjangka AS menyatakan pengelola investasi global telah meningkatkan posisi kontrak beli (long) secara terus menerus akibat ekspektasi terhadap pengetatan pasokan pasar yang bakal terus mendorong harga.
Pengelola investasi meningkatkan posisi beli bersih terhadap minyak mentah berjangka AS dan posisi opsi di New York dan London sebesar 40.855 kontrak menjadi 541.990 kontrak pada pekan yang berakhir 16 Januari 2017.
Dalam laporan terpisah, Intercontinental Exchange Inc menyatakan para spekulan memangkas posisi di perdagangan Brent pada pekan yang berakhir pada 16 Januari, dengan penurunan jumlah kontrak sebesar 3.357 kontrak menjadi 570.795 kontrak.
Adapun, pemicu utama kenaikan harga minyak berasal dari pemangkasan produksi yang dilakukan oleh OPEC dan beberapa negara produsen minyak dunia lainnya, termasuk Rusia, sejak Januari 2017.
Penurunan pasokan rencananya akan dilakukan hingga akhir tahun ini. Kesepakatan tersebut bertujuan untuk memperketat pasar, sehingga harga minyak bisa terdongkrak.
Bahkan persediaan minyak mentah AS, yang tidak terlibat dalam kesepakatan pemangkasan, turun 6,9 juta barel menjadi 412,6 juta barel pada pekan kedua Januari.
Realisasi tersebut secara musiman terendah dalam tiga tahun terakhir dan di bawah rata-rata jumlah persediaan dalam lima tahun yang sebesar 420 juta barel.
(bir)