Harga Minyak Stagnan di Awal Pekan

Safyra Primadhyta | CNN Indonesia
Selasa, 09 Jan 2018 07:12 WIB
Harga minyak dunia relatif tak banyak berubah pada perdagangan Senin (8/1), seiring sentimen terhadap kondisi politik di beberapa negara OPEC.
Harga minyak dunia relatif tak banyak berubah pada perdagangan Senin (8/1), seiring sentimen terhadap kondisi politik di beberapa negara OPEC. (REUTERS/David Mdzinarishvili)
Jakarta, CNN Indonesia -- Harga minyak dunia relatif tak banyak berubah pada perdagangan Senin (8/1), waktu Amerika Serikat (AS). Hal itu seiring sentimen terhadap kondisi politik di beberapa negara anggota Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang mampu mengimbangi efek dari meningkatnya produksi minyak AS.

Dilansir dari Reuters, Selasa (9/1), harga minyak mentah berjangka Brent hanya naik US$0,16 atau 0,2 persen menjadi US$67,78 per barel. Sementara, harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediaries (WTI) naik US$0,29 atau 0,5 persen menjadi US$61,73 per barel.

"Harga minyak diseimbangkan dengan baik pada perdagangan hari ini [Senin (8/1)]. Masih berlangsungnya aksi protest di Iran, bersama dengan hukuman pada beberapa pangeran di Arab Saudi baru-baru ini, telah membangkitkan kekhawatiran pada risiko geopolitik," ujar Analis Energi Senior Interfax Energi Global Gas Analytics Abishek Kumar di London.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Meskipun demikian, lanjut Kumar, prospek kenaikan lebih jauh atas produksi minyak AS di tengah perbaikan harga minyak terus mendorong sentimen bahwa harga pasar bakal turun (bearish).

Pekan lalu, harga kedua kontrak berjangka menyentuh titik tertingginya sejak Mei 2015 di mana harga Brent mencapai US$68,27 per barel dan WTI US$62,21 per barel.

Berdasarkan data Badan Administrasi Informasi Energi AS, produksi minyak AS diperkirakan bakal naik hingga di atas 10 juta barel per hari (bph), mendekati level produksi Arab Saudi dan Rusia. Hal itu berkat meningkatnya aktivitas pengeboran minyak shale.

"Harga minyak AS saat ini berada di kisaran yang diantisipasi bakal menarik naiknya produksi minyak shale," ujar Kepala Analis Pasar CMC Markets Ric Spooner di Sidney.

Pelaku pasar, lanjut Spooner, mungkin memutuskan bahwa kebijaksaan merupan bagian yang lebih baik dari keberanian sembari menunggu bukti dari apa yang terjadi pada jumlah rig dan tingkat produksi untuk beberapa bulan ke depan.

Berdasarkan data Baker Hughes, perusahaan pengeboran minyak di AS mengurangi jumlah rig minyak yang beroperasi sebanyak lima unit pada pekan lalu, pemangkasan yang pertama dalam tiga minggu terakhir.

Kenaikan produksi minyak AS merupakan faktor utama yang menahan dampak dari pemangkasan produksi yang dilakukan oleh OPEC dan beberapa negara produsen minyak, termasuk Rusia. Kebijakan ini telah berlangsung sejak Januari 2017 dan bakal berakhir pada akhir 2018.


Sumber senior dari OPEC yang berasal dari produsen minyak di Timur Tengah menyatakan OPEC terus mengawasi aksi protes di Iran, dan krisis ekonomi Venezuela. Namun, upaya peningkatan produksi baru akan terjadi jika terjadi gangguan produksi yang signifikan dan terus menerus di negara tersebut.

Stephen Innes, Kepala perdagangan untuk Asia Pasifik pada broker berjangka Oanda di Singapura, menyatakan perdebatan soal OPEC lawan minyak shale bakal panas tahun ini dan bakal menjadi salah satu faktor kunci yang menggerakkan harga.

Meskipun demikian, Innes menambahkan bahwa gejolak di Timur Tengah bakal menjadi fokus utama pasar minyak dan berpotensi mendongkrak harga lebih tinggi lagi. (gir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER