Jakarta, CNN Indonesia -- PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) (Inalum) menyatakan, upaya perusahaan untuk meningkatkan kapasitas pabrik aluminium yang terletak di Kuala Tanjung, Sumatera Utara terhambat minimnya pasokan listrik. Padahal, perusahaan berencana meningkatkan kapasitas pabrik seiring permintaan aluminium yang kini makin deras di pasar global.
Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin mengatakan, produksi listrik tentu saja sangat berpengaruh signifikan terhadap produksi aluminium. Ia mengatakan, produksi 1 ton aluminium baru bisa berjalan jika terdapat listrik 14 ribu Kilowatt-Hour (KWh).
Hanya saja, saat ini Inalum baru mengoperasikan dua Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yakni PLTA Siguragura berkapasitas 203 MW dan PLTA Tangga dengan besaran 223 MW.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Kami sudah ada keinginan untuk memperbaiki kapasitas smelter, namun besar juga hambatannya untuk meningkatkan kapasitas dari 250 ribu per tahun ke 500 ribu ton per tahun, terutama listrik,” jelas Budi di Gedung Dewan Perwakilan (DPR), Senin (29/1).
Sebetulnya, lanjut Budi, potensi listrik di sepanjang sungai Asahan sebenarnya ada di angka 1.000 MW dengan lima titik bendungan yang bisa dibangun. Dari jumlah tersebut, Inalum hanya baru bisa membangun dua bendungan. Sebab, kala itu, Otorita Asahan malah memberikan izin tiga lisensi bendungan lainnya ke pihak swasta.
Maka dari itu, rencananya Inalum mengambilalih lisensi bendungan-bendungan yang dimiliki swasta tersebut untuk memperbesar produksi listriknya.
“Ini sedang dalam proses bagaimana lisensi bendungan itu bisa didapatkan sehingga kami bisa memperbesar kapasitas industri kami,” jelas dia.
Pembangunan ini, terangnya, memang harus dilakukan dengan segera karena permintaan aluminium dunia sedang tinggi-tingginya. Ia menerangkan, saat ini industri otomotif tengah melirik aluminium sebagai bahan baku industri otomotif pengganti baja tahan karat (stainless steel), karena dianggap lebih ringan.
Apalagi, semakin ringan tulang kendaraan, maka semakin kecil pula emisi yang dihasilkan. Penurunan 100 kilogram (kg) berat kendaraan bisa menurunkan 0,08 kilogram (kg) emisi per tahunnya.
Tak hanya itu, perusahaan juga dianggap perlu memanfaatkan momentum kenaikan harga aluminium yang pada 2017 lalu berada di level US$2.071 per ton atau membaik dari tahun sebelumnya US$1.690 per ton.
“Namun, tentu perbaikan ini harus diiiringi dengan produksi listrik. Kalau produksi listrik banyak, maka produksi aluminiumnya juga banyak,” pungkas dia.
Sekadar informasi, ekspansi pabrik Inalum ini masih dalam tahap kajian kecakapan finansial (Bankable Feasibility Study/BFS). Namun, secara kasar, investasi yang dibutuhkan untuk ekspansin pabrik ini ada di angka US$691 juta.
Hingga akhir tahun 2017 lalu, produksi aluminium Inalum ada di angka 218.816 ton atau turun 12,18 persen dibanding tahun kemarin 245.483 ton.
(gir/bir)