Jakarta, CNN Indonesia -- Clarks Indonesia resmi tutup mulai 28 Februari 2018 nanti. Hal tersebut diakui oleh manajemen PT Anglo Distrindo Antara, distributor sekaligus pemegang hak merek Clarks di Indonesia.
Selidik punya selidik, Clarks Indonesia menutup seluruh lapaknya lantaran penjualan sepatu model konservatif asal Inggris tersebut terus turun. Bahkan, penurunannya mencapai 50 persen sejak 2016 lalu.
“Di 2014, kami masih menjual 80.000-an pasang sepatu. Setahun kemudian, turun dikit lah. Barulah pada 2016, penjualan anjlok hingga 50 persen dan terus turun sampai hari ini. Kami terpaksa genjot penjualan dengan promo,” ujar Rubby Destrison, Perwakilan Manajemen Anglo Distrindo Antara kepada
CNNIndonesia.com, Rabu (31/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sisi lain, sambung dia, biaya operasional terus meningkat, seperti sewa tempat di mal dan gaji karyawan. Walhasil, perusahaan terus menanggung rugi. Bahkan, efisiensi dengan mengurangi jumlah gerai dari 25 menjadi 10 hingga saat ini pun tak bisa membantu perusahaan mengurangi biaya operasional.
“Kebetulan, kontrak kerja sama dengan Clarks dari pusatnya kan habis tahun ini. Jadi, kami memutuskan tidak memperpanjang lagi. Lalu, mengambil langkah penutupan seluruh gerai yang tersisa saat ini,” imbuhnya.
Gara-gara Daya Beli Sejak kabar Clarks hengkang dari Indonesia berhembus, banyak penggemar setianya yang mengaku sedih. Anggara (35 tahun), salah satunya yang mengaku sedih karena telah menggunakan sepatu merek Clarks sejak 2008 silam.
“Saya biasa beli dua pasang dalam setahun. Karena suka modelnya dan untuk ukuran kaki 45 dan 46 enak dipakai. Bahannya juga berkualitas. After sales (purna jual) untuk perawatan sepatunya ada. Jadi, sedih banget kalau tutup,” terang dia.
Bukan cuma penggemar, menurut Rubby, manejemen Clarks di kantor pusatnya juga mengaku sedih. Seperti disampaikannya, selama ini, penjualan sepatu Clarks di Indonesia selalu menggembirakan. Namun, dua tahun terakhir menjadi sangat berat.
“Kami di Anglo, selaku pemegang merek Clarks satu-satunya di Indonesia, lebih sedih. Karena kami kontrak eksklusif. Makanya, setelah seluruh gerai tutup, Anglo sebagai distributor juga ikut tutup,” katanya.
Adapun, Rubby menilai, melemahnya daya beli masyarakat menjadi alasan anjloknya penjualan perusahaan. Gerai yang biasanya diramaikan pengunjung semakin melorot. Bahkan, alasan peralihan cara belanja masyarakat dari offline ke online pun tak serta merta mengerek penjualan Clarks lewat situs perusahaan dan sosial media.
“Ada yang bilang bukan daya beli melemah, tetapi peralihan belanja masyarakat dari offline ke online. Kenyataannya, daya beli memang melemah. Masyarakat menahan belanja mereka. Kami terkena imbasnya,” pungkasnya.
(bir)