Tarif Listrik Tak Naik, Neraca PLN Bisa Amblas Rp21 Triliun

Safyra Primadhyta | CNN Indonesia
Selasa, 06 Mar 2018 17:38 WIB
Keputusan pemerintah mempertahankan tarif listrik hingga 2019 di tengah kenaikan harga batu bara berisiko menggerus neraca keuangan PLN mencapai Rp21 triliun.
PLN memperkirakan, keputusan pemerintah mempertahankan tarif listrik hingga 2019 di tengah kenaikan harga batu bara berisiko menggerus neraca perusahaan mencapai Rp21 triliun. (ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas)
Jakarta, CNN Indonesia -- PT PLN (Persero) memperkirakan, keputusan pemerintah untuk mempertahankan tarif listrik hingga 2019 di tengah kenaikan harga batu bara dunia berisiko menggerus kinerja keuangan perusahaan sekitar Rp21 triliun. Tahun lalu, laba perseroan tergerus hampir Rp16 triliun akibat kenaikan harga batu bara tanpa diimbangi kenaikan tarif listrik.

"Sekitar Rp21 triliun (potensi neraca keuangan tergerus)," ujar Direktur Utama Sofyan Basir usai menghadiri Energy Talk di Soehana Hall Energy Building, Selasa (6/3).

Triliunan dana tersebut, menurut Sofyan, seharusnya bisa dialokasikan perseroan untuk membiayai investasi kelistrikan di daerah-daerah terpencil yang notabene biaya pengadaan listriknya lebih mahal dibandingkan di Jawa. Belum lagi, permintaan listrik di daerah terpencil juga sulit untuk menutup investasi listrik.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejak tahun lalu, harga batu bara relatif menanjak dan kian membebani keuangan PLN. Pada Maret 2018, Harga Acuan Batu bara (HBA) ditetapkan pemerintah sebesar US$101,96 per ton meningkat dibandingkan bulan lalu, US$100,69 per ton.


Batu bara merupakan sumber energi primer terbesar dalam bauran energi pembangkit listrik di Indonesia. Tahun lalu, porsi batu bara mencapai 57,22 persen dari total seluruh bauran energi primer, lalu disusul gas yang porsinya sebesar 24,82 persen.

Selain soal batu bara, PLN juga harus menghadapi tekanan dari penguatan kurs dolar AS serta kenaikan harga ICP dibandingkan tahun lalu. Porsi BBM dalam bauran energi pembangkit tahun lalu memang hanya 5,81 persen, tetapi harga ICP biasanya akan berbanding lurus dengan harga gas.

Melihat hal itu, perseroan tengah menanti terbitnya revisi ketentuan harga kewajiban pemenuhan kebutuhan domestik (DMO) batu bara untuk ketenagalistrikan dari yang sebelumnya mengikuti HBA menjadi harga khusus. Ini akan dituangkan dalam revisi Peraturan Menteri ESDM. Namun, permen tersebut tak bisa terbit sebelum Presiden Joko Widodo meneken revisi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017.

"Kami menginginkan harga batu bara serendah-rendahnya, tapi nanti batubara tidak ada yang menggali" ujarnya.


Selain itu, perseroan juga akan melanjutkan upaya efisiensi yang dilakukan dengan berbagai cara. Efisiensi tersebut, antara lain, memperbanyak bauran energi batu bara mengingat ongkos produksinya relatif lebih murah dibandingkan sumber energi lain, tidak memperpanjang kontrak pembangkit listrik yang harga pokok produksinya mahal, membangun transmisi untuk menarik sambungan listrik dari satu daerah ke daerah lain, dan membuat zonasi untuk kapal batu bara sehingga batu bara bisa dipasok dari daerah yang lebih dekat ke pembangkit.

"Tidak lagi ada batu bara dari Kalimantan Timur ke Sumatra. Untuk pembangkit listrik di Sumatra kami bawa dari Jambi, dari Palembang," ujarnya.

Dari upaya efisiensi tersebut, Sofyan berharap perseroan bisa menghemat sekitar Rp6,5 triliun.

Sebagai informasi, pemerintah memutuskan untuk tidak menaikkan tarif listrik dan bahan bakar minyak hingga 2019. Hal ini dilakukan mengingat daya beli masyarakat yang masih belum pulih. (agi)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER