Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) keberatan dengan pernyataan Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso, yang mengibaratkan perusahaan teknologi berbasis keuangan
(financial technology/fintech) peer to peer (P2P) lending sebagai rentenir digital lantaran mematok bunga tinggi kepada pinjaman.
Mereka mengklaim, bunga yang diberikan selama ini melalui sejumlah pertimbangan, diantaranya profil risiko peminjam.
"Sangat berbahaya bila OJK menyamakan semua model bisnis
fintech dengan rentenir. Jadi, kami harap OJK bisa bedakan P2P Lending dengan bisnis modal pay day loan," ungkap Ketua Kelompok Kerja P2P Lending Aftech Reynold Wijaya di Jakarta, (6/3)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Reynold menjelaskan, penentuan bunga pinjaman pada
fintech P2P lending ditentukan dari dua sisi, yakni pemberi pinjaman dan peminjaman. Dari sisi pemberi pinjaman, pihaknya harus menawarkan bunga imbal hasil tinggi, lantaran ada risiko pinjaman terlambat bahkan gagal dikembalikan.
Berbeda dengan bank,
fintech P2P lending memang menyerahkan risiko peminjam sepenuhnya kepada pemberi pinjaman.
Selain risiko, pihaknya juga harus menawarkan bunga imbal hasil yang dinilai menguntungkan guna menarik minat pemberi pinjaman menempatkan dana.
"Orang yang memberi modal harus mendapat reward yang seimbang melalui
return (keuntungan) dan risiko yang ditanggung. Ini juga supaya mereka untung, kalau tidak untung, siapa yang mau kasih pinjam?" ungkap Reynold.
Adapun dari sisi peminjam, menurut Wakil Wakil Ketua Aftech Adrian Gunadi, pihaknya mengenakan bunga pinjaman sesuai dengan perhitungan risikonya. Perhitungan risiko, dilihat dari latar belakang dan riwayat peminjaman yang pernah dilakukan hingga kemampuannya dalam mengembalikan dana yang dipinjam.
Dengan pertimbangan itu, ia menyebut, sebenarnya ada peminjam mendapatkan beban bunga dibawah rata-rata bunga yang dikenakan karena dinilai memiliki risiko rendah. Di sisi lain, ada pula yang dikenakan bunga yang tinggi akibat dinilai memiliki risiko tinggi.
"Ada kok yang bunganya 15 persen karena profil risikonya bagus. Bahkan ada yang 12 persen. Jadi penetapan bunga juga berdasarkan profil risiko," kata Adrian pada kesempatan yang sama.
Selain itu, fintech juga akan membandingkan standar bunga pembiayaan yang diberikan oleh sesama pelaku
fintech dan lembaga jasa keuangan lainnya.
Adapun lembaga jasa keuangan lain yang dipantau penawaran bunganya adalah bank kecil bermodal di bawah Rp5 triliun. Perbandingan bunga tersebut pun membuat pinjaman yang diberikan tetap kompetitif dan menarik bagi peminjam.
"Kami
benchmark misalnya dengan bunga bank BUKU 1 (modal di bawah Rp1 triliun) dan BUKU 2 (modal di bawah Rp5 triliun) sekitar 14-15 persen dengan jaminan. Nah, ini kami tingkatkan sekitar satu persen (jadi 15-16 persen misalnya) karena tanpa jaminan," jelasnya.
(agi)