Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi mewajibkan pemilik manfaat dari sebuah perusahaan (
beneficial ownership) untuk mengungkap identitasnya.
Kewajiban itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Perpres yang diteken 1 Maret 2018 itu menyebut bahwa pemilik manfaat adalah orang yang dapat menunjuk dan memberhentikan direksi, memiliki kemampuan untuk mengendalikan korporasi, menerima manfaat langsung dari korporasi, dan merupakan pemilik perusahaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Orang yang dikategorikan sebagai pemilik manfaat setidaknya menggenggam kepemilikan sebesar 25 persen dan memiliki hak suara sebesar 25 persen sesuai anggaran dasar.
Dalam perpres
beneficial ownership, identitas sang pemilik manfaat harus ditunjukkan saat ia mengajukan permohonan pendirian, pendaftaran dan mengurus perizinan perusahaan yang dibentuknya.
Pemilik manfaat harus menyerahkan nama lengkap, nomor identitas, tempat tanggal lahir, kewarganegaraan, alamat tinggal, alamat negara asal, hingga hubungan korporasi dan pemilik manfaat.
Kewajiban ini diberlakukan demi menghindari pendirian perusahaan yang berasal dari tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme. Hal ini sudah sesuai standar pencegahan dan pemberantasan dua tindak pidana tersebut di seluruh dunia.
"Bahwa korporasi dapat dijadikan sarana baik langsung maupun tidak langsung oleh pelaku tindak pidana yang merupakan pemilik manfaat dari hasil tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme," ujar Jokowi melalui beleid tersebut, dikutip Selasa (6/3).
Tak hanya korporasi, Jokowi juga meminta pemilik manfaat dari yayasan untuk menyerahkan identitas aslinya. Adapun, orang yang bisa memenuhi kriteria sebagai pemilik manfaat yayasan adalah orang yang memiliki lebih dari 25 persen harta awal di dalam anggaran dasar yayasan dan memiliki kewenangan memberhentikan pembina dan pengurus yayasan.
Seharusnya, Perpres ini sudah terbit akhir tahun kemarin. Namun, karena satu dan lain hal, Perpres ini baru bisa terbit pada awal tahun.
Menurut Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi (PPATK) Kiagus Ahmad Badarudiin, terlambatnya Perpres ini disebabkan karena maslaah administrasi ketimbang substansinya.
"Sampai awal tahun kemarin tidak ada perubahan draf (rancangan Perpres), hanya saja memang kan birokrasi untuk menerbitkan Perpres ini yang cukup memakan waktu," jelas Kiagus.
(bir)