Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah memprediksi penguatan dolar AS terhadap seluruh mata uang di dunia, termasuk Indonesia, yang terjadi saat ini masih bergerak naik turun (volatile). Artinya, penguatan dolar AS belum stabil.
Menurut Halim, kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh Presiden AS Donald Trump sangat sulit ditebak. Tak cuma itu, Trump juga tidak konsisten dalam merealisasikan kebijakannya.
"Saya rasa, akan volatile. Masalahnya, kami tidak bisa prediksi juga, Trump ini kadang-kadang apa yang diucapkan belum tentu bisa dilaksanakan," ujarnya, mengutip Antara, Jumat (9/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya, Gubernur Bank Sentral AS (The Fed) Jerome Powell menyatakan AS perlu lebih agresif untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut mengirim sinyal ke pasar di seluruh dunia, sehingga dolar menguat dan potensi keluarnya arus modal (capital outflow) dari negara berkembang kembali ke AS semakin besar.
Selain itu, Trump sendiri berencana menetapkan tarif bea masuk impor terhadap produk baja 25 persen dan alumunium 10 persen. Hal itu juga berpotensi menciptakan terjadinya perang dagang (trade war) apabila pemerintah AS menerapkan kebijakan tersebut.
"Kami tahu gejolak sekarang ini terjadi karena tidak hanya pernyataan dari The Fed, tapi juga pernyataan dari Presiden AS sendiri. Ini adalah dua faktor yang kadang-kadang tidak bisa diprediksi dengan baik," imbuh dia.
Kendati demikian, ia melanjutkan, volatilitas nilai tukar merupakan hal yang biasa dihadapi oleh dunia usaha, terutama sektor keuangan. Di perbankan, umumnya manajemen telah memiliki manajemen risiko untuk mengantisipasi dampak dari gejolak ekonomi global terhadap perkembangan bisnisnya.
"Di perbankan, itu bagian dari manajemen risiko dia. Jadi, dia tidak akan ada masalah karena dia ada penerimaan dari sisi dolar dan dari sisi nondolar. Dan saya rasa, mereka netral. Bergantung mereka bisa punya posisi, kalau mereka percaya rupiah akan melemah, mereka lebih banyak pegang dolar. Begitu juga sebaliknya," terang Halim.
Sementara itu, dari sisi dunia usaha, dampak penguatan dolar AS terhadap rupiah sendiri akan dirasakan oleh eksportir dan importir yang dalam transaksinya dipengaruhi oleh perkembangan nilai tukar.
"Eksportir tentu senang kalau rupiah melemah karena ia akan dapat rupiah lebih banyak, tapi bagi importir akan lebih mahal. Oleh karena itu, ada ketentuan harus 'hedging' duluan supaya pengaruh dari volatilitas dari rupiah tidak besar," katanya.
Berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia (BI), nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada hari ini, Jumat (9/3), sebesar Rp13.794 per dolar AS atau melemah dibandingkan hari sebelumnya Rp13.774 per dolar AS.
Sejak pekan terakhir Februari 2018, rupiah memang menunjukkan tren pelemahan terhadap dolar AS yang pada saat itu masih berada di kisaran level Rp13.500-an per dolar AS.
(antara/bir)