BPK: 'Subsidi' Konglomerat Sawit Langgar Perpres Jokowi

Yuli Yanna Fauzie | CNN Indonesia
Selasa, 03 Apr 2018 11:17 WIB
BPK menemukan kelebihan penyaluran subsidi mencapai Rp68,1 miliar dari dana sawit yang masuk kantong para konglomerat sawit sejak Mei 2016 hingga April 2017.
BPK menemukan kelebihan penyaluran subsidi mencapai Rp68,1 miliar dari dana sawit yang masuk kantong para konglomerat sawit sejak Mei 2016 hingga April 2017. (CNN Indonesia/Agustiyanti)
Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan kelebihan penyaluran subsidi mencapai Rp68,1 miliar dari dana sawit (CPO Fund) yang masuk kantong para konglomerat sawit dalam kurun waktu Mei 2016 hingga April 2017.

Subsidi tersebut mengacu pada selisih harga biodiesel kepada Badan Usaha Bahan Bakar Nabati (BUBBN) yang berasal dari selisih besaran Harga Indeks Pasar (HIP) BBN jenis Biodiesel dengan HIP Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Solar.

Selisih harga Biodiesel tersebut dibayarkan dengan menggunakan dana sawit, yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS), Badan Layanan Umum (BLU) di bawah Kementerian Keuangan. Sementara dana sawit, didapat dari pungutan ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oils/CPO) dan pendapatan atas pengelolaan dana.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Istilah subsidi datang dari Kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang perkebunan sawit pada 2016. Dalam kajian itu, lembaga antikorupsi itu mengkritik penggunaan dana perkebunan kelapa sawit yang habis untuk program biodiesel semata.

Berdasarkan temuan BPK dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2017 yang diterima CNNIndonesia.com, kelebihan subsidi mencapai Rp68,1 miliar didapat dari selisih HIP BBN Biodiesel sebesar Rp13,65 triliun dikurang HIP BBM Solar Rp13,72 triliun.

Kelebihan subsidi muncul lantaran BPDPKS menggunakan kurs tengah Bank Indonesia (BI) dalam menentukan perhitungan HIP BBN Biodiesel, sedangkan untuk perhitungan HIP BBM Solar menggunakan kurs beli BI.


Menurut BPK, perhitungan tersebut tak sesuai dengan ketentuan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit, yang selanjutnya diubah dengan Perpres Nomor 24 Tahun 2016.

Pada Pasal 18 ayat (4) UU tersebut menyebutkan bahwa perhitungan untuk pembayaran dana dilakukan paling lambat setiap tiga bulan sekali, berdasarkan HIP BBM jenis minyak solar dan HIP BBN jenis biodiesel pada bulan transaksi dengan rerata kurs tengah BI. Sedangkan yang terjadi, justru perhitungan HIP BBM Solar menggunakan kurs beli BI.

"Permasalahan tersebut mengakibatkan terjadinya risiko kelebihan pembayaran oleh BPDPKS kepada BUBBN atas insentif biodiesel yang disalurkan," tulis BPK dalam IHPS II 2017, dikutip Selasa (3/4).


Menanggapi temuan BPK, BPDPKS dan Direktorat Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) beralasan penggunaan kurs beli untuk menghitung HIP BBM Solar digunakan agar penghitungan subsidi tidak besar. Tanggapan tersebut dilampirkan BPK dalam IHPS II 2017 tersebut.

Namun, dalam laporan tersebut BPDPKS menyadari kebenaran dari hasil pemeriksaan BPK tersebut. "BPDPKS sependapat dengan temuan BPK," tulis BPDPKS dalam laporan tersebut.

Dari temuan itu, BPK merekomendasikan agar Direktur Utama BPDPKS segera berkoordinasi dengan Kementerian ESDM untuk memperjelas regulasi kurs yang digunakan dalam pembayaran selisih HIP BBN Biodiesel dengan HIP BBM Solar, khususnya sejak berlakunya Perpres 24 tahun 2016 dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2016.


'Bocor' di Pengangkutan

Tak hanya memberikan 'subsidi berlebih' atas kesalahan penggunaan kurs rupiah di BI, BPK juga menemukan bahwa dana sawit BPDPKS juga 'bocor' lantaran ada kelebihan bayar ongkos angkut Biodiesel ke BUBBN mencapai Rp6,62 miliar.

PT Wilmar Bioenergi Indonesia (WBI) dan PT Wilmar Nabati Indonesia (WINA) disebut mendapat kelebihan ongkos angkut Biodiesel tersebut, masing-masing sebesar Rp,2,04 miliar dan Rp4,58 miliar.

Kelebihan bayar terjadi lantaran perhitungan biaya angkut belum didasari oleh perhitungan dengan formula yang jelas dari BPDPKS dan Kementerian ESDM. Sedangkan yang terjadi di lapangan, perhitungan ongkoas angkut yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri ESDM hanya didasarkan pada besaran ongkos angkut yang diusulkan oleh perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), pada saat menyalurkan Biodiesel kepada PT Pertamina (Persero).


Kondisi ini menyalahi Keputusan Menteri ESDM No.3239 K/12/MEM/2015 tentang Harga Indeks Pasar Bahan Bakar Nabati (Biofuel) yang Dicampurkan ke Dalam Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu dan Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan dan Keputusan Menteri ESDM Nomor 6034 K/12/MEM/2016 tentang Harga Indeks Pasar Bahan Bakar Nabati (Biofuel) yang Dicampurkan ke Dalam Bahan Bakar Minyak.

Atas kelebihan bayar itu, BPK menyebut bahwa BPDPKS belum juga menagih kelebihan ongkos yang terlanjur masuk kantong kedua perusahaan itu. Namun, BPDPKS sependapat dan tak mengelak dari hasil temuan BPK.

Dari temuan itu, BPK merekomendasikan kepada BPDPKS agar segera menagih kelebihan bayar yang terlanjur masuk ke kantong PT WBI dan PT WINA. "BPK merekomendasikan kepada Direktur Utama BPDPKS agar melakukan verifikasi kembali terhadap kelebihan pembayaran ongkos angkut berdasarkan ketentuan yang berlaku dan menagih kelebihan pembayaran sebesar Rp6,62 miliar," tegas BPK. (agi/bir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER