Pengusaha 'Rela' BI Kerek Bunga Acuan Demi Jaga Rupiah

Yuli Yanna Fauzie | CNN Indonesia
Kamis, 26 Apr 2018 15:19 WIB
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengaku rela Bank Indonesia mengerek suku bunga acuannya demi menjaga nilai tukar atau kurs rupiah.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengaku rela Bank Indonesia mengerek suku bunga acuannya demi menjaga nilai tukar atau kurs rupiah. (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)
Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengaku rela jika Bank Indonesia (BI) mengerek suku bunga acuannya (7 Days Reverse Repo Rate/7DRRR) demi menjaga nilai tukar atau kurs rupiah.

Suku bunga BI menjadi acuan bagi perbankan dalam menetapkan bunga deposito dan kredit. Tak hanya itu, imbal hasil (yield) produk investasi lainnya, seperti surat utang, juga mengacu pada bunga acuan BI.

Imbal hasil produk investasi yang lebih tinggi diharapkan membuat investor asing kembali masuk ke Indonesia dan mengerek nilai tukar rupiah. Namun, imbasnya, bunga kredit yang juga akan naik bakal membebani dunia usaha.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ya apa boleh buat? Bukannya oke (suku bunga acuan naik membuat suku bunga kredit naik), tapi kepepet ya mau tidak mau, karena ini bukan hanya berdampak ke kami," ucap Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani, dikutip Kamis (26/4). 

Ia khawatir, cadangan devisa (cadev) bakal terus tergerus guna menjaga stabilisasi rupiah. Cadangan devisa yang turun pun dikhawatirkan membuat investor tak percaya untuk berinvestasi di Indonesia dan rupiah kian melemah.

"Memang mau tidak mau suku bunga harus naik, kalau tidak nanti cadangan devisa bisa habis, jadi harus diimbangi," katanya.


Lebih lanjut ia menjelaskan, dari segi hitung-hitungan bisnis dan dampak ekonomi secara menyeluruh, kenaikan suku bunga acuan BI masih akan lebih menguntungkan ketimbang pelemahan rupiah.

Pelemahan rupiah, menurut dia, memang menguntungkan sebagian pengusaha yang menjalankan bisnis ekspor. Namun, nasib malang dialami para importir karena membeli bahan baku, bahan penolong, hingga bahan konsumsi dengan menggunakan dolar AS.

"Eksportir memang diuntungkan, tapi secara komposisi. (Pengusaha) yang memerlukan stabilitas rupiah itu lebih besar. Jadi, (pelemahan rupiah) menguntungkan sedikit pihak, tapi lebih merugikan banyak yang lain," jelasnya.

Kendati pelemahan rupiah menguntungkan eksportir, dampaknya tak signifikan bagi ekonomi Indonesia. Pasalnya, menurut Hariyadi, 60 persen ekspor masih berupa bahan mentah.


Di sisi lain, ketergantungan Indonesia pada barang impor masih tinggi. Impor tak hanya dilakukan Indonesia pada bahan baku dan penolong, tetapi juga barang konsumsi.

Kendati demikian, ia mengaku belum bisa memperkirakan berapa potensi kerugian bila rupiah terus melemah.

"Itu agak susah karena setiap industri berbeda-beda, ada yang kandungan impor dia tinggi, ada yang rendah. Jadi kami tidak bisa pukul rata, karena terlalu bervariasi," pungkasnya.

Sebelumnya, rupiah kembali melemah hingga menyentuh kisaran Rp13.900 per dolar AS sejak akhir pekan lalu. Pelemahan ini melanjutkan pelemahan rupiah pada Februari lalu, yang menyentuh Rp13.700 per dolar AS untuk pertama kalinya pada tahun ini. (agi/bir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER