Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur Utama
PT PLN (Persero)
Sofyan Basir meminta aparat kepolisian menindak penyebar rekaman pembicaraannya dengan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
Rini Soemarno. Ia menduga rekaman tersebut berasal dari tindakan penyadapan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab terhadap pembicaraan yang dilakukannya melalui sambungan telepon.
Sofyan menekankan bahwa tindakan penyadapan merupakan tindakan pidana murni. Ia bahkan menduga ada aktivitas jual-beli informasi dari hasil pembicaraan yang disadap.
"Hasil pembicaraan orang-orang, apalagi saya sebagai CEO, diperjualbelikan. Ada pembicaraan saya dengan direksi saya yang menyangkut perusahaan asing, perusahaan swasta, upaya pengamanan, efisiensi, rencana bisnis. Semuanya jadi terbuka. Ini sesuatu yang betul-betul menurut saya parah sekali," ujar Sofyan kepada
CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Senin (30/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sofyan membenarkan pembicaraan tersebut terkait proyek terminal penyimpanan
(storage) LNG Bojonegara, Cilegon, Banten, yang telah dibatalkan. Namun, Sofyan menegaskan pembicaraan tersebut dilakukan demi kepentingan perseroan dan tidak ada tindakan pelanggaran.
"Saya tenang-tenang saja, karena saya tidak melakukan apapun. Namun, mimpi buruk sekali kalau pembicaraan telepon disadap oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab sesukanya untuk mengetahui rahasia-rahasia perusahaan dan negara," jelasnya.
Tadinya, perseroan berminat menjadi penyerap 60 persen gas yang didaratkan ke terminal tersebut. Untuk itu, wajar jika perseroan ingin mengambil porsi saham kepemilikan konsorsium perusahaan pembangun terminal lebih besar dari yang ditawarkan yaitu dari 7,5 persen menjadi 30 persen. Terminal storage LNG Bojonegoro rencananya akan dibangun oleh PT Bumi Sarana Migas (BSM) bekerja sama dengan dua perusahaan Jepang, Mitsui dan Tokyo Gas.
Terkait langkah hukum, Sofyan baru akan memutuskan setelah ia kembali ke Indonesia usai melakukan
roadshow terkait penerbitan obligasi perseroan.
"Namun, menurut saya, aparat keamanan harus bertindak meskipun tanpa pengaduan," tegas Sofyan.
Berdasarkan penjelasan pasal 31 Undang-undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, tindakan penyadapan atau intersepsi merupakan kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komuniksai maupun jaringan nirkabel.
Atas tindakan tersebut, sesuai pasal 47 UU Nomor 11/2008, pelaku terancam sanksi pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp800 juta.
(agi/lav)