Kompensasi Harga Solar, Pemerintah Tetap Pilih Skema Subsidi

Safyra Primadhyta | CNN Indonesia
Kamis, 03 Mei 2018 16:52 WIB
Pemerintah tetap memilih opsi membayarkan subsidi kepada PT Pertamina sebagai kompensasi untuk menjual harga solar dan premium di bawah harga keekonomian.
Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah memilih untuk tetap membayarkan subsidi kepada PT Pertamina (Persero) sebagai kompensasi untuk menjual harga solar dan premium di bawah harga keekonomian.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas (Migas) Djoko Siswanto mengungkapkan tambahan dana subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) tahun ini bisa ditutup oleh penerimaan dari selisih antara harga minyak mentah Indonesia (ICP) dengan asumsi ICP dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018. Dengan demikian, target penerimaan negara tidak akan terganggu.

Djoko memaparkan, pemerintah mendapatkan kelebihan penerimaan (windfall profit) dari penjualan minyak mentah bagian negara ke Pertamina. Pasalnya, ICP berlaku lebih tinggi dibandingkan asumsi APBN 2018 yang hanya sebesar US$48 per barel. Sebagai catatan, ICP telah mencapai US$64,12 barel pada April lalu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Disebutkan Djoko, penjualan minyak mentah bagian negara ke Pertamina per hari sekitar 350 ribu bph. Artinya, pendapatan negara dari penjualan minyak mentah dalam sehari lebih tinggi sekitar US$5,6 juta atau sekitar Rp76,2 miliar per hari (kurs Rp13.500 per dolar AS).

Sesuai APBN 2018, subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dialokasikan untuk 7,5 juta kiloliter (kl) solar di mana setiap liternya mendapatkan Rp500.

Djoko memperkirakan pemerintah akan menambah subsidi solar menjadi Rp1000 hingga Rp1.500 per liter tahun ini. Dengan demikian, pemerintah setidaknya memerlukan Rp3,5 triliun hingga Rp7 triliun tambahan subsidi solar.


Belum lagi subsidi untuk minyak tanah dan berbagai penugasan, sehingga total tambahan subsidi diperkirakan Djoko bisa mencapai Rp10 triliun.

"Dari windfall profit, kalau dapat Rp10 triliun lumayan. Match kan (dengan kebutuhan subsidi)," ujar Djoko di kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kamis (5/3).

Jika penerimaan dari selisih penjualan harga minyak mentah tak mampu menutup kebutuhan subsidi, pemerintah bisa mengurangi penerimaan dividen yang disetorkan oleh perseroan. Dengan demikian, porsi profit yang bisa digunakan perseroan untuk melakukan ekspansi tetap terjadi.

Sebenarnya, lanjut Djoko, Kementerian ESDM juga telah mempertimbangkan opsi lain untuk menjaga kinerja keuangan Pertamina, di tengah penugasan penyaluran BBM. Opsinya yaitu dari sisi hulu, melalui penetapan harga jual minyak mentah untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri (DMO) ke kilang sesuai asumsi ICP.


Saat ini, harga jual minyak mentah yang dibayarkan oleh Pertamina sesuai dengan harga ICP yang trennya terus menanjak. Dengan memberikan harga khusus, maka perseroan bisa menekan biaya produksi.

Namun, setelah berkoordinasi dengan seluruh Kementerian/ Lembaga (K/L) terkait, usulan ini dimentahkan. Pasalnya, opsi harga khusus tersebut membutuhkan perhitungan yang lebih rumit untuk memastikan penggunaan minyak mentah di kilang benar-benar untuk premium dan solar.

"Secara teknis, minyak mentah yang masuk ke kilang itu bisa jadi premium, bisa jadi solar, bisa jadi avtur dan sebagainya. Setiap hari itu berubah. Artinya, sekarang jadi avtur dua liter, mungkin besok jadi 2,5 liter," ujarnya. (lav)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER