Jakarta, CNN Indonesia -- Banyak pihak yang sebelumnya optimis
neraca perdagangan Indonesia pada April 2018 bakal mencatatkan surplus. Namun, kenyataannya, neraca perdagangan Indonesia justru mencatatkan defisit US$1,63 miliar pada April 2018, defisit bulanan tertinggi sejak 2014.
Defisitnya neraca perdagangan tak hanya disebabkan oleh impor yang kian membengkak, tetapi juga kinerja
ekspor yang melempem. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik per April 2018, impor naik 11,28 persen dibanding bulan sebelumnya sebesar US$16,09 miliar, sedangkan ekspor turun 7,19 persen menjadi US$14,7 miliar.
Kepala Ekonom BCA David Samual menjelaskan pelemahan
rupiah memang tak banyak membantu ekspor, khususnya di Indonesia. Pasalnya, ekspor Indonesia saat ini didominasi oleh komoditas yang saat ini tengah mengalami penurunan harga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Secara teori, rupiah yang melemah pada dolar AS seharusnya mampu mendorong ekspor karena harga produk yang menjadi lebih murah saat dikonversi dalam dolar AS sehingga lebih kompetitif.
"Efek rupiah melemah tak bisa instan pada ekspor. Selain itu, ekspor kita juga hingga saat ini kebanyakan komoditas yang harganya sedang turun, sehingga pengaruh pelemahan rupiah sangat kecil," ujar David kepada
CNNIndonesia.com, Selasa (15/5).
David menyebut ekspor Indonesia sebenarnya menghadapi masalah struktural yang hingga kini tak kunjung diselesaikan pemerintah. Hingga kini, ekspor Indonesia masih bergantung pada ekspor komoditas.
Sementara itu, David menduga, melonjaknya impor pada April disebabkan oleh dua hal. Pertama, adanya persiapan menjelang bulan Ramadan. Kedua, importir mengantisipasi kemungkinan rupiah melemah lebih jauh dari posisi saat ini.
Pada perdagangan hari ini, rupiah ditutup melemah 64 poin dan kembali ke level Rp14.037 per dolar AS.
"Untuk itu, yang harus dilakukan pemerintah saat ini ada tiga. Mencari sumber ekspor lain dengan membangun industri manufaktur, mendorong subtitusi impor, dan mendorong subtitusi jasa," terang dia.
Selain bermasalah dengan neraca perdagangan barang, menurut David, Indonesia juga memiliki masalah menahun pada defisit neraca jasa. Alhasil, selama ini, neraca transaksi berjalan Indonesia yang mencakup neraca perdagangan dan jasa, serta pendapatan primer selalu mencatatkan defisit. Defisit transaksi berjalan ini pada akhirnya membuat neraca pembayaran bergantung pada aliran modal asing dan membuat nilai tukar rupiah gampang bergejolak jika aliran dana asing keluar.
Di sisi lain, David memperkirakan impor pada bulan-bulan mendatang tak akan setinggi April. Ia pun optimis neraca perdagangan pada Mei dan Juni bisa kembali surplus, kendati tipis.
"Sepanjang tahun ini kemungkinan neraca perdagangan masih bisa surplus, tetapi kemungkinan surplusnya lebih kecil," jelas dia.
Sementara itu, Pengamat Ekonomi Asian Development Bank (ADB) Institute Eric Sugandi menilai defisit neraca perdagangan April yang cukup besar memang kontras dengan konsensus ekonom yang memperkirakan neraca perdagangan surplus. Ia menduga banyaknya produk ekspor manufaktur yang menggunakan komponen impor membuat pelemahan rupiah tak mampu mendorong ekspor.
"Karena biaya impor komponen juga naik sehingga harga jual ekspornya tidak turun banyak walaupun rupiah melemah," ungkap dia.
Namun, Eric memperkirakan tingginya impor pada April 2018 sejalan dengan aktivitas perusahaan untuk melakukan kegiatan produksi. Sedangkan kenaikan impor barang konsumsi, terkait dengan faktor musiman menjelang bulan Ramadan.
"Pemerintah bisa teruskan implementasi paket-paket kebijakan untuk menaikkan daya saing, tetapi itu kemungkinan sulit untuk mempengaruhi kinerja ekspor karena banyak ditentukan faktor eksternal, misalnya permintaan dari negara tujuan dan harga dari komoditas," kata dia.
Senanda dengan David, Eric juga memperkirakan defisit neraca perdagangan pada sepanjang tahun ini masih akan surplus. Namun, surplus perdagangan di tahun ini diperkirakan akan lebih kecil dari tahun lalu yang mencapai US$11,84 miliar.
Kejar Target Ekspor 11 Persen
Kendati kinerja ekspor melempem di April, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengaku tetap bakal mengejar pertumbuhan ekspor tahun ini sebesar 11 persen, sesuai target pemerintah.
"Ekspor target kami 11 persen. Saat ini sekitar 9 persen, saya kejar kenaikan pertumbuhan 2 persen lagi," kata Enggar.
Terkait neraca perdagangan Indonesia yang defisit US$1,63 miliar pada April 2018, Enggar menjelaskan bahwa hal tersebut terjadi akibat impor yang tinggi.
"Kalau dari sisi ekspor kita naik 9 persen, tapi dari segi impor kenaikannya memang tinggi," ujarnya.
Enggar juga mengaku tak khawatir dengan kenaikan impor. Pasalnya, kenaikan impor diperlukan untuk memenuhi kebutuhan barang modal dan bahan baku industri yang dapat berdampak positif pada perekonomian.
"Di sisi lain impor barang konsumsi naik, terutama karena mendekati Lebaran," kata Enggar.
Kedepan, Enggar mengaku akan terus mendorong ekspor, terutama pada komoditas garmen, alas kaki, dan otomotif.
Sementara itu, Bank Indonesia memandang defisit neraca perdagangan April 2018 tidak terlepas dari peningkatan kegiatan produksi dan investasi. Hal ini sejalan dengan membaiknya prospek perekonomian domestik.
"Ke depan, Bank Indonesia meyakini kinerja neraca perdagangan akan membaik seiring berlanjutnya pemulihan ekonomi dunia dan harga komoditas global yang tetap tinggi," terang Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Agusman.
(agi)