Jakarta, CNN Indonesia -- Jelang petang pada suatu hari di awal 1999 silam, kediaman Anwar Nasution disambangi Gubernur
Bank Indonesia Syahril Sabirin. Kunjungan Syahril kala itu bukan tanpa alasan. Ia menawarkan tugas sebagai Deputi Gubernur BI kepada Anwar. Perasaan Anwar kala itu campur aduk.
"Saya tanya berapa gaji jadi pejabat BI? Dia (Syahril) bilang Rp23 juta. Saya bilang gaji saya itu paling tidak lima kali lipat dari gaji kau itu," ujar Anwar berseloroh sembari tertawa saat diwawancara oleh CNNIndonesia.com, belum lama ini.
Ia bercerita, saat itu dia bekerja sebagai peneliti di luar negeri dengan gaji melimpah berdenominasi dolar Amerika Serikat (AS).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tapi dia bilang ini untuk negara. Apa boleh buat, haha...saya tanya istri saya setuju. Ya sudahlah demi negara, 'berbenah'," imbuhnya pasrah.
Berbenah yang dimaksud tak lain adalah membereskan berbagai persoalan moneter yang tengah mendera ekonomi Indonesia hingga akhirnya nyaris 'koma'.
Sejarah bermula pada Oktober 1988, ketika Gubernur BI saat itu Adrianus Mooy mengumumkan paket kebijakan deregulasi perbankan di era Orde Baru atau Paket Oktober 1988 (Pakto 1988). Kebijakan tersebut menandai perubahan besar sektor keuangan dan menjadi paket aturan paling liberal sepanjang sejarah perbankan Indonesia.
Sisa-sisa aturan lama yang memasung kompetisi di sektor perbankan dihapus. Syarat pendirian bank swasta hanya perlu memiliki modal minimum Rp10 miliar. Bahkan, modal minimum bank perkreditan rakyat (BPR) hanya Rp50 juta. Perusahaan perbankan juga diberi kemudahan untuk membuka kantor cabang.
 Masyarakat Indonesia pada terjadinya krisis moneter 1998 mengantre di BCA untuk mengambil uang tunai. Saat itu inflasi bahkan mencapai 60 persen. (REUTERS) |
Alhasil, industri perbankan nasional tumbuh seperti jamur di musim penghujan. Semua orang kaya dan hampir kaya tiba-tiba membangun bank, jumlah bank swasta mencapai 166 bank, 40 unit bank campuran, dan 9.196 BPR.
Menurut Anwar, hal yang menjadi persoalan utama terjadinya krisis ekonomi adalah sektor perbankan.
"Lalu muncul banyak bank, konglomerat dan anak-anak pak Harto (Presiden Soeharto) semua punya bank, yang tidak punya keahlian perbankan juga bikin (bank). Uangnya digunakan untuk perusahaannya sendiri," papar Anwar.
Kemudian, pemerintah melakukan deregulasi sektor infrastruktur. Jika semula proyek infrastruktur hanya boleh dibangun perusahaan negara, kini memberi izin bagi perusahaan swasta, termasuk proyek listrik, telepon, jalan tol, dan proyek infrastruktur lain.
"Tapi perusahaan swasta itu hanya milik putra-putri dan kroni-kroni pak Harto. Uang tidak punya, keahlian tidak ada, maka yang terjadi mereka pinjam kredit dari luar negeri seenaknya," ungkapnya.
 Keluarga dan putra-putri Soeharto disebut mendapatkan kemudahan untuk mendirikan bank dan perusahaan lainnya. (Dok. Istimewa) |
Hal itu akhirnya menimbulkan dua jenis kesenjangan. Pertama, kesenjangan nilai mata uang, karena meminjam dalam mata uang dolar AS, tetapi memperoleh pendapatan dalam rupiah.
Kedua, kesenjangan jatuh tempo utang, karena meminjam dengan tenor jangka pendek, tapi proyeknya baru memperoleh omzet dalam waktu panjang.
Ketika rupiah melemah drastis akibat krisis finansial Asia, tumpukan utang perusahaan swasta dalam kurs dolar AS berubah menjadi bencana yang menjerat masa depan para konglomerat.
Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri era 1999 Kwik Kian Gie menilai kesalahan terbesar pemerintah saat itu adalah melakukan liberalisasi perbankan yang salah kaprah.
"Orang yang mendirikan bank itu tidak mengerti perbankan. Jadi, waktu uang terkumpul mereka menggunakan dananya sendiri," terang Kwik.
Namun, lanjut dia, pemicu krisis secara langsung adalah saat BI menutup 16 bank yang diindikasi tidak sehat. Keputusan itu disarankan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) yang berkuasa karena memberi paket bantuan dana mencapai US$43 miliar. Pemerintah menilai amputasi bank tak sehat akan memotong aliran krisis.
Fakta berkata lain.
Momentum terburuk adalah ketika para nasabah perbankan yang pailit tak memperoleh kembali dananya. Bank tak mengasuransikan dana nasabah, sehingga uang raib begitu saja.
"Nasabah marah karena merasa tertipu. Mereka berpikir kalau bank tidak aman dan tak ada lagi yang percaya, dana ditarik, terjadi
rush (penarikan dana) besar-besaran dan pemerintah panik," papar Kwik.
 Kesepakatan antara Indonesia dan IMF pada 1998 memaksa ditutupnya 16 bank yang terindikasi tidak sehat. Namun hal itu malah memicu krisis menjadi lebih besar. (REUTERS) |
Penyehatan PerbankanKetika pertama kali Anwar didapuk sebagai Deputi Gubernur BI, hal pertama yang dilakukan ialah mengurus berbagai hambatan yang menjegal eksistensi perbankan, dimulai dari suntikan modal perbankan.
Sampai akhirnya, pemerintah menerbitkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) mencapai Rp430 triliun bagi perbankan. Sejumlah bank yang tak lagi mampu 'bernapas' disita oleh pemerintah. Terjadi konsolidasi perbankan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
"Bank swasta yang dimiliki pemerintah tidak sehat, maka itu disehatkan dengan surat utang khusus yang dinamakan obligasi rekap. Bank ada yang dijual, di-merger dan lainnya," katanya.
BI juga menerbitkan
Blanket Guarantee, yakni saat semua kredit ditanggung pemerintah, baik dalam rupiah maupun dolar AS.
"Intinya ada salah tata cara, maka ambruklah semua," jelasnya.
Untuk menahan badai tak kembali mendera, Anwar menyebut BI berupaya mendorong kebijakan asuransi deposito. Paling tidak, jika bank ambruk, maka ada jaminan bagi para pemegang deposito.
"Tak akan ada lagi ibu-ibu antre di bank untuk menarik dana, lebih memilih menumpuk uang di bantal atau menaruh emas di lemari," katanya.
(bir/asa)