ANALISIS

Pertumbuhan Ekonomi Tak Akan Menjerit Meski Bunga BI Melejit

Galih Gumelar | CNN Indonesia
Rabu, 23 Mei 2018 14:48 WIB
Kenaikan bunga acuan BI diperkirakan tak serta merta menekan pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun ini yang ditargetkan mencapai 5,4 persen.
Kenaikan bunga acuan BI diperkirakan tak akan serta merta menekan pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun ini yang ditargetkan mencapai 5,4 persen. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Indonesia (BI) akhirnya menaikkan suku bunga acuannya, 7 Days Repo Rate (7DRR) sebesar 25 basis poin dari 4,25 persen menjadi 4,5 persen dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pekan lalu. Ini menandakan berakhirnya upaya BI menahan suku bunga acuan sejak Desember lalu.

Deputi Gubernur Senior Bank Mirza Adityaswara mengatakan langkah ini diambil demi meningkatkan kembali aliran modal masuk ke Indonesia. Ini merupakan imbas dari kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) Fed Rate yang naik 75 basis poin dalam setahun terakhir.

Arus modal perlu dijaga karena capital outflow bikin permintaan rupiah melemah, sehingga terjadi depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Data kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) mencatat, rupiah sudah mengalami depresiasi sebesar 4,69 persen sejak awal tahun ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Bank sentral mengelola ekonomi tetap prudent untuk memastikan funding masuk ke Indonesia tetap banyak, maka kami harus menyesuaikan suku bunga," jelas Mirza.

Kenaikan suku bunga acuan tentu diharapkan bisa memberi imbal hasil instrumen investasi yang lebih baik. Sehingga arus modal tetap tertahan di dalam negeri dan ujungnya menahan depresiasi nilai tukar yang dalam.

Hanya saja, kenaikan suku bunga acuan ini memiliki dilema tersendiri. Sebab, kenaikan suku bunga acuan memiliki hubungan negatif dengan pertumbuhan ekonomi. Ini lantaran suku bunga yang tinggi menjadi disinsetif bagi penyaluran kredit yang berdampak pada investasi riil dan menjadi pemicu bagi masyarakat untuk menaruh uangnya di instrumen keuangan.

Dikutip dari buku "Macroeconomics" karya Gregory Mankiw, fenomena ini bisa terlihat dari kurva Investment-Saving (IS) yang merupakan tindak lanjut dari teori bernama Keynesian Cross.

Disebutkan, kenaikan suku bunga akan memicu ongkos pinjaman (cost of fund) yang sangat besar dan kemudian menggeser rencana pendanaan bagi investasi. Tak heran jika dalam ilmu makroekonomi, suku bunga merupakan fungsi dari investasi.

Tak hanya itu, kenaikan suku bunga acuan juga akan mempengaruhi suku bunga pinjaman, sehingga masyarakat juga tak termotivasi melakukan konsumsi. Dengan imbal hasil yang lebih besar, masyarakat akan mengurangi konsumsi dan cenderung memilih menahan uangnya di bank.

Hal ini kemudian mempengaruhi pertumbuhan ekonomi lantaran investasi dan konsumsi merupakan bagian dari pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB), selain ekspor netto dan pengeluaran pemerintah.

Langkah untuk menaikkan suku bunga ini makin dilematis setelah pemerintah memasang target pertumbuhan ekonomi yang lumayan tinggi, yakni 5,4 persen di tahun ini. Dengan capaian 5,06 persen di kuartal I kemarin, maka pemerintah harus membukukan pertumbuhan ekonomi 5,51 persen di tiga triwulan mendatang agar mencapai target yang diinginkan

Sekilas, pertumbuhan ekonomi bisa-bisa terancam. Tapi ternyata, kondisi ekonomi Indonesia cenderung menunjukkan fenomena yang berbeda.
Pertumbuhan Ekonomi Tak Akan Menjerit Meski Bunga BI Melejit(CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi)
Ekonom senior dari Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah mengatakan Indonesia memiliki anomali, di mana hubungan negatif antara suku bunga acuan dan pertumbuhan ekonomi malah tidak terjadi.

Ia mencontohkan, kala suku bunga acuan BI Rate di angka 7,25 persen, Indonesia malah bisa membukukan pertumbuhan ekonomi 6 persen. Namun, kini ekonomi Indonesia hanya tumbuh di kisaran 5 persen, meski bunga acuan BI bertengger di kisaran 4,25 persen.

Di samping itu, pertumbuhan kredit di era suku bunga rendah pun juga terbilang stagnan. Di tahun 2017 saja, BI mencatat pertumbuhan kredit 8,1 persen. Padahal di tahun 2015, di saat BI rate di kisaran 7,5 persen, pertumbuhan kredit tercatat lebih baik yakni 10,44 persen.


Sebagai catatan, terdapat perubahan perhitungan bunga acuan BI dari BI rate yang mencermintak tingkat suku bunga dana bank tenor satu tahun dan menjadi BI 7 days (reverse) repo rate yang mencerminkan tingkat suku bunga bank tenor satu minggu hingga satu bulan

"Secara teori memang hubungan suku bunga dan pertumbuhan ekonomi ini memang dekat. Secara teori. Tapi kalau di Indonesia, anehnya ini tidak berlaku. Makanya, saya selalu sebut bahwa ini merupakan anomali ekonomi Indonesia," ujar Piter.

Ia melanjutkan, anomali ini disebabkan karena pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat dipengaruhi harga komoditas. Hal ini tak mengherankan, sebab menurut data BPS, sektor pertanian dan pertambangan mengambil porsi terbesar dalam pembentuk PDB Indonesia di kuartal I, yakni 21,29 persen.

Kenaikan harga komoditas juga punya efek menyebar terhadap lapangan usaha lain, seperti perdagangan serta transportasi dan pergudangan. Sehingga, kala harga komoditas naik, maka nilai output perekonomian meningkat, dan ini bisa memperbaiki investasi, konsumsi masyarakat, dan ekspor.

"Selama harga komoditas membaik, seperti pertambangan, maka pasar lebih bergairah. Ini justru menimbulkan kepercayaan diri bahwa ekonomi akan membaik. Justru ini lebih kelihatan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi karena kelihatan di Indonesia, bagaimana suku bunga acuan berubah tak serta merta mengubah tingkat investasi dan kredit," terang dia.


Atas dasar itu, ia berkesimpulan bahwa kenaikan suku bunga acuan tidak serta merta menghambat pertumbuhan ekonomi. Bahkan, ia pun yakin pertumbuhan ekonomi masih tidak terdampak jika nanti BI akan menaikkan lagi suku bunga 7DRR.

Meski demikian, ia menganggap target pertumbuhan ekonomi tahun ini terlalu tinggi. CORE sendiri meramal, pertumbuhan ekonomi di tahun ini maksimal hanya bisa 5,2 persen.

"Pasti nanti BI akan menaikkan lagi suku bunga acuannya dalam mengantisipasi The Fed. Tapi saya tidak begitu khawatir suku bunga acuan akan menekan pertumbuhan ekonomi. Yang lebih penting itu adalah kondisi ekonomi sekarang ini bisa mendapat kepercayaan publik," kata dia.

Setali tiga uang, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Aviliani juga merasakan keanehan ekonomi Indonesia. Masa-masa suku bunga acuan yang rendah tahun lalu ternyata malah bikin simpanan masyarakat dalam bentuk Dana Pihak Ketiga (DPK) menumpuk. Di tahun lalu, DPK malah tumbuh 8,3 persen atau lebih baik ketimbang pertumbuhan kredit yang hanya 8,1 persen.


Anomali ini, lanjut Aviliani, kemungkinan berasal dari kekhawatiran pelaku usaha atas administrasi pajak. Kesimpulan ini sendiri berasal dari Focus Group Discussion yang lembaganya selenggarakan beberapa waktu lalu.

Adapun, salah satu kebijakan perpajakan yang dikeluhkan pelaku usaha kala itu adalah Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2017 di mana pemerintah akan membebankan pajak penghasilan (PPh) kepada Wajib Pajak (WP) yang melakukan pengampunan pajak (tax amnesty), jika masih ada harta bersih yang belum dilaporkan di dalam Surat Pernyataan Harta ketika melaksanakan tax amnesty.

"Ini agak aneh, bunga rendah kok malah menaruh uang, artinya mereka ini tidak konsumsi kan? Waktu itu kami bikin FGD, dari sisi sektor riil banyak orang yang mengeluh bahwa masalah pajak itu masih jadi ketakutan mereka. Utamanya terhadap pengejaran pajak yang berlebihan mungkin," jelas dia.

Berkaca dari kasus tersebut, maka ada baiknya operasi moneter BI ini diiringi dengan kebijakan fiskal yang bisa mengimbangi dampak dari kenaikan suku bunga acuan.


Agar ekonomi tetap tumbuh, maka masyarakat berpendapatan atas dan pelaku usaha harus sedikit dimanjakan dengan insentif pajak agar mereka mau berinvestasi. Sementara di sisi konsumsi masyarakat berpendapatan bawah, pemerintah harus memastikan bahwa belanja bantuan sosial tepat guna. Jika konsumsi dan investasi tumbuh, maka pertumbuhan ekonomi ikut melesat.

"Karena kalau dilihat, moneter ini tugasnya kan kebijakan suku bunga acuan. Tapi tentu harus ada kebijakan yang menyentuh sisi riil masyarakat," jelas dia.

Lebih lanjut, Aviliani menerangkan bahwa tak selamanya kenaikan suku bunga selalu berkorelasi negatif dengan investasi riil. Jika dilihat dari sudut pandang lain, sebetulnya kenaikan suku bunga acuan ini bisa menahan depresiasi rupiah. Nilai tukar yang lebih stabil bisa memberikan kepastian bagi dunia usaha untuk berinvestasi.

"Kalau nilai tukar lebih baik dan stabil, maka dunia usaha cenderung tidak takut dengan investasi dan kenaikan harga bisa dihindari," jelas dia. (agi)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER