Jakarta, CNN Indonesia -- Penambahan jumlah
bank sistemik dari 11
bank menjadi 15 bank dinilai akan meningkatkan kebutuhan pendanaan Program Restrukturisasi Perbankan (PRP).
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adinegara mengatakan dengan penambahan jumlah bank sistemik, negara membutuhkan dana penyangga yang lebih besar bila sewaktu-waktu ada bank yang gagal dan berdampak sistemik.
"Selain karena menjalankan amanat Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK) agar skema
bail in bisa berjalan tanpa memberatkan keuangan negara, jumlah bank sistemik yang bertambah menguatkan urgensi PRP ini," kata Bhima kepada CNNIndonesia.com, Kamis (7/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kendati begitu, menurut Bhima, premi penjaminan bila ada bank yang gagal dan berdampak sistemik seharusnya bisa dijamin dari pungutan yang telah ditarik LPS kepada bank saat ini.
Dengan begitu, bank juga tak terbebani dengan penambahan premi yang harus dibayarkan. Sebab, di sisi lain, bank masih dalam tahap pemulihan untuk menjalankan bisnisnya. Sehingga, tambahan pungutan premi bisa memberatkan bank karena banyak dana yang harus dikeluarkan.
"Seharusnya bisa diambil dari premi penjaminan dan pungutan bank ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK)," katanya.
Kendati begitu, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memastikan bahwa urgensi penggodokan aturan premi PRP tak semata-mata disiapkan karena bertambahnya jumlah bank sistemik.
Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah mengatakan pembentukan aturan PRP sejatinya dilakukan sebagai komitmen Indonesia terhadap ketentuan internasional. Namun memang, di saat yang bersamaan ketentuan penggolongan bank sistemik juga merupakan petunjuk internasional.
Hal ini agar suatu negara dapat mengantisipasi dampak kegagalan bank. Sebab, kegagalan bank dapat merugikan keuangan negara. "Makanya secara internasional itu dibahas, jadi perlu ada pemungutan dana PRP," ucap Halim.
(agi/bir)