Jakarta, CNN Indonesia --
Harga minyak dunia tidak banyak bergerak pada perdagangan Senin (11/6), waktu Amerika Serikat (AS), menyusul komentar Menteri Perminyakan Irak yang memicu keraguan terhadap peluang
Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) untuk mengerek produksinya.
Dilansir dari
Reuters, Selasa (12), harga minyak mentah berjangka Brent tertahan di level US$76,46 per barel. Sementara, harga minyak mentah Amerika Serikat (AS) West Texas Intermediate (WTI) naik US$0,36 menjadi US$66,07 per barel, tertinggi sejak 1 Juni 2018.
Presiden Ritterbusch and Associates Jim Ritterbusch mengungkapkan kenaikan harga minyak mentah AS dipicu oleh aksi ambil untung dari lebarnya selisih antar kedua harga acuan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, sejumlah analis juga menilai harga minyak mendapatkan sokongan dari pergerakan pasar modal. Tiga indeks saham utama AS diperdagangkan di zona positif kemarin, beberapa jam sebelum pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un di Singapura.
Namun demikian, harga minyak dunia mendapat tekanan dari ketidakpastian naiknya pasokan minyak dari OPEC.
Selama 18 bulan terakhir, OPEC dan sekutunya telah memangkas produksi minyak demi menstabilkan pasar dan mendorong harga.
Rencananya, OPEC menggelar pertemuan tahunan di Wina, Austria, pada 22-23 Juni mendatang. Dalam pertemuan tersebut, OPEC bakal memutuskan apakah bakal melanjutkan kesepakatan pemangkasan produksi di tengah merosotnya produksi Venezuela dan potensi turunnya ekspor Iran akibat pengenaan sanksi kembali oleh AS.
Pekan lalu, beberapa pemberitaan mengindikasikan bahwa pemerintahan Trump telah meminta OPEC untuk meningkatkan produksi minyak.
"Sekarang, kami melihat sejumlah negara produsen OPEC yang mendukung status quo," jelas Presiden Lipow and Associates Andrew Lipow di Houston.
Menteri Perminyakan Irak Jabar al-Luaibi menyatakan harga minyak masih membutuhkan dorongan dan upaya stabilisasi. Seharusnya, lanjut al-Luaibi, tidak terlalu berlebihan dalam menyatakan bahwa pasar minyak membutuhkan lebih banyak pasokan.
Selanjutnya, al-Luaibi juga menolak keputusan unilateral dari beberapa anggota OPEC tanpa mengkonsultasikannya kepada anggota lain.
Produsen terbesar OPEC Arab Saudi telah mengerek tipis produksi minyaknya menjadi lebih dari 10 juta barel per hari (bph) pada Mei lalu. Namun, Arab Saudi masih memenuhi ketentuan besaran pasokan yang disepakati.
Meski OPEC memangkas produksinya, produksi dari negara non OPEC, termasuk AS dan Rusia tercatat meningkat.
Dilaporkan
Reuters, Kantor Berita Rusia Interfax menyatakan produksi minyak Rusia telah melampaui target dengan menembus 11,1 juta bph di awal Juni.
Di AS, berdasarkan data Baker Hughes, jumlah kilang baru bertambah satu pekan lalu menjadi 862 kilang, tertinggi sejak Maret 2015. Artinya, produksi minyak AS bakal yang telah mencapai 10,8 juta bph bakal naik lebih jauh.
(bir)